Kids jaman now, menjadi istilah yang sedang beken saat ini. Selain memiliki kelebihan, tak sedikit juga orang tua yang membandingkan anak-anak jaman now dengan jaman dulu. "Anak sekarang maunya serba enak" dan "Anak sekarang sukanya main hape terus" sering dibandingkan dengan kalimat "Jaman ayah dulu mau apa-apa harus nabung" dan "Dulu mah gak ada hape, jadi mainnya lebih kreatif", dan seterusnya. Ada juga yang menyebut kids jaman now sebagai Generasi Micin. Disebut demikian karena anak sekarang melakukan sesuatu hal tanpa berpikir terlebih dahulu. "Kebanyakan makan micin" konon begitu penyebabnya. Hmm.. sepertinya banyak yang salah di jaman now. Benarkah demikian? apakah penyebabnya?
Senin, November 27, 2017
Sabtu, November 25, 2017
Kreativitas itu Anugerah
Kreativitas itu Anugerah. DihadiahkanNya pada manusia untuk menyenangkan hati dan sebagai modal untuk mengarungi kehidupan. (Farida Ariyani)Kata-kata ini yang saya ada dalam pikiran saya tentang kreativitas, setelah mengerjakan tantangan game level #9 Be Creative, bahwa kreativitas merupakan hadiah dari Allah yang luar biasa. Dan saya yakin, hadiah kreativitas ini telah Allah berikan pada setiap manusia, tanpa terkecuali. Tugas kita untuk lebih mengenali dan menggali lagi, bentuk kreativitas yang kita miliki.
Kreativitas tak terbatas pada kemampuan menghasilkan suatu produk. Dalam keseharian, kreativitas tidak hanya dibutuhkan pada bidang keterampilan. Tetapi juga pada bidang-bidang lain. Contoh, seorang pemimpin yang ingin menggerakkan bawahannya ke arah yang lebih positif, membutuhkan kreativitas. Untuk itu, ia membuat terobosan-terobosan pemikiran baru. Terobosan pemikiran ini termasuk dalam kreativitas. Contoh lain, seorang ibu rumah tangga yang kesulitan karena anaknya susah makan sayur padahal sudah dibuatkan masakan enak, membutuhkan kreativitas dalam cara penyajian. Memotong wortel dalam bentuk bunga, menggunakan garpu berbentuk es krim, membujuk makan sambil bergaya lucu juga merupakan bentuk kreativitas.
Begitu luasnya lingkup kreativitas, hingga kita perlu berpikir ulang untuk cepat mengatakan tidak bisa/tidak memiliki kreativitas.
Produk yang dihasilkan dalam kreativitas pun tidak melulu harus yang canggih. Banyak produk yang sederhana namun bermanfaat yang juga termasuk hasil dari kreativitas. Misalnya produk-produk yang dihasilkan dari limbah rumah tangga seperti tas dari bungkus minyak kemasan, gantungan kunci dari bungkus kopi, dan lain-lain. Hal ini jugalah yang menjadi inspirasi saya dalam mengerjakan tantangan game Be Creative, yakni membuat suatu produk dengan menggunakan bahan yang ada di sekitar, dengan budget seminim mungkin tetapi dibutuhkan. Contohnya Remember Board yang saya buat dari kertas kado dan dipasang pada gantungan baju. Selain itu, saya pun menantang diri sendiri untuk menerapkan kreativitas dalam bentuk yang lebih luas lagi seperti berlatih kreatif dalam menyampaikan suatu maksud.
Mengerjakan tantangan game ini memang mengajak saya untuk lebih meningkatkan lagi kemampuan berkreatifitas. Selesai satu hari tantangan, maka untuk tantangan hari berikut saya kembali berpikir apa lagi yang bisa saya lakukan? apa lagi kemampuan berkreasi yang belum saya maksimalkan? karena belum berhasil, apa yang harus saya lakukan? Demikian saya merasakan pikiran terstimulus hingga semua tantangan 10 hari terpenuhi. Dan ternyata memang dalam diskusi di wag Bunda Sayang Koordinator bersama Ibu Septi Peni Wulandani, saya menyimpulkan dengan mengerjakan tantangan Be Creative ini secara sekaligus belajar High Order Thingking Skill.
Apa yang dimaksud dengan High Order Thingking Skill?
Menurut wikipedia.
Higher-order thinking, known as higher order thinking skills (HOTS), is a concept of education reform based on learning taxonomies (such as Bloom's taxonomy). The idea is that some types of learning require more cognitive processing than others, but also have more generalized benefits. In Bloom's taxonomy, for example, skills involving analysis, evaluation and synthesis (creation of new knowledge) are thought to be of a higher order, requiring different learning and teaching methods than the learning of facts and concepts.
Higher-order thinking involves the learning of complex judgmental skills such as critical thinking and problem solving. Higher-order thinking is more difficult to learn or teach but also more valuable because such skills are more likely to be usable in novel situations (i.e., situations other than those in which the skill was learned).Sederhananya, belajar tentang HOTS adalah belajar tentang bagaimana mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Contohnya saat kita membaca sebuah artikel di whatsapp yang dikirimkan oleh seorang teman, dalam usaha HOTS, maka kita tidak akan menelan mentah-mentah artikel tersebut melainkan berusaha berpikir kritis, membandingkan tulisan tersebut dengan tulisan lain, berusaha mencari data yang valid, dan seterusnya
Darwono dalam artikelnya di Kompasiana yang berjudul "High Order Thingking Skill Guru" menuliskan kemampuan berpikir tingkat tinggi menjadi hal yang wajib dimiliki oleh peserta didik dan ini dimulai dengan guru yang harus terlebih dahulu meningkatkan HOTSnya. Dan setidaknya ada 5 Hal yang harus dimiliki
- Kemampuan problem solving
- Berpikir Kritis (Critical Thingking)
- Berpikir Kreatif
- Kemampuan berargumentasi (reasoning)
- Membuat kesimpulan (decision making)
Sama-sama kita berusaha ya?
Mulai dari sekarang 😊
Sumber Bacaan
1. Wikipedia, High-Order Thingking
2 .Diskusi WAG Bunda Sayang Koordinator bersama fasilitator Septi Peni Wulandani
3. Artikel Kompasiana, Darwono, High Order Tingking Skill Guru, 2016
Jumat, November 24, 2017
Bapakku Pahlawanku
Kebersamaan saya dengan Bapak.. terbatas hingga usia 7 tahun saja.
Saya duduk di bangku kelas 2 SD, cawu kedua, saat Bapak dipanggil Allah.
Waktu yang terbilang singkat, tetapi saya si pengamat kecil, merasa bangga sekali punya orangtua seperti Bapak.
Bapak itu suka berteman..
Demikian yang saya amati dari keseharian bersama Bapak.
Hampir setiap hari selepas isya ada saja yang datang bertamu ke rumah.
Sesekali, Bapak menyengaja membeli minuman botol di pasar sebagai stok suguhan minuman bagi para tamu yang akan datang. Wah, begitu melihat Bapak mengeluarkan motor saya pasti bergegas ikut, duduk di bagian depan, menemani Bapak seraya menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi.
Ibu pun seperti mengerti kesukaan Bapak, sering membuat cemilan-cemilan enak sebagai penambah suguhan bagi para tamu.
Dalam kehangatannya menyambut tamu, Bapak meletakkan dalam memori saya, bagaimana seharusnya bersikap memuliakan tamu dan mensyukuri sebuah pertemanan.
Kata Ibu, Bapak senang sekali saat saya lahir. Bapak memang mengharapkan memiliki anak perempuan. Karena 3 anak sebelumnya laki-laki. Setelah saya berusia 5 tahun, Bapak kerapkali membelikan saya pakaian yang sama persis dengan Ibu. Hanya beda ukuran saja. Sampai-sampai Ibu pernah berceletuk "Punya anak perempuan jadi kayak punya kembaran.." Hehehe.. Mungkin karena Bapak senang melihat anak dan ibu seperti kompak. Tetapi meski saya anak perempuan satu-satunya, Bapak tidak pernah memanjakan. Tidak semua yang saya minta pasti Bapak penuhi. Pernah suatu ketika, saat rapor kelas 1 saya memuaskan (dan saya tahu Bapak bangga sekali dengan prestasi ini), saya meminta dibelikan boneka sebagai hadiah, tetapi Bapak malah membelikan buku saku rumus matematika. Rumus-rumus yang baru akan saya pelajari di kelas 3 SD nanti. Bisa dibayangkan betapa kecewanya saya. Bukan mainan yang didapat melainkan buku pelajaran! Saya pun merajuk dan menangis. Awalnya Bapak membujuk tapi lama-lama malah jadi kesal karena saya semakin merajuk dan semakin keras menangis. Setengah marah Bapak mengatakan buku ini lebih penting dari mainan. Karena takut melihat Bapak yang mulai marah tangis saya pun perlahan berhenti. Sambil sesegukan setengah terpaksa saya menerima hadiah dari Bapak. Setahun kemudian memang buku rumus itu mulai terasa manfaatnya. Dan setiap melihatnya, saya teringat kembali peristiwa ini.
Sebagaimana "anak kolong" lainnya, kami pun dididik dengan disiplin oleh Bapak. Terutama disiplin dalam menunaikan ibadah sholat. Jika tidak ke mesjid, kami sholat berjamaah di rumah. Bapak selalu memantau kedisplinan sholat kami. Kalau lalai, sapu lidi kecil sudah pasti menyapa betis. Tidak keras tapi cukup memberi efek jera dan membuat bergegas sholat. Disiplin yang sama juga Bapak terapkan dalam menuntut ilmu. Bapak tidak menekankan nilai rapor anak-anaknya harus bagus. Tetapi bersungguh-sungguh itu wajib. Dan Bapak tidak mentolerir bolos. Ketahuan bolos, maka lagi-lagi sapu lidi menyapa betis. Sapaan itu berhenti sampai kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Setelah kami besar, kami sering membicarakan masa-masa penuh disiplin bersama Bapak. Kami sepakat, hasil ajaran Bapaklah yang membuat kami terbiasa berusaha bersungguh-sungguh. Kami semua betah berlama-lama mengerjakan sesuatu yang membuat kami penasaran akan hasilnya. Kegagalan tak pernah membuat berhenti. Terkadang, masa ini menjadi bahan candaan juga, bermain tebak-tebakan siapa yang paling banyak disapa betisnya oleh sapu lidi..apalagi ditambah mengingat penyebabnya.. hahahaha.. kami berempat tertawa geli.
Bapak yang keras dalam menekankan disiplin, adalah Bapak yang juga cinta dengan alam. Bapak menularkan kecintaannya ini dengan sering mengajak kami berjalan-jalan di hari libur menikmati pemandangan. Jangan dikira kami mengunjungi tempat wisata, bukan..bukan ke sana tujuan kami. Tempat wisata hanya kami kunjungi saat kami mudik lebaran. Itu pun bersama keluarga besar dari pihak Ibu. Sementara dengan pihak keluarga Bapak kami lebih banyak bersilaturahmi dari satu saudara ke saudara lainnya. Di luar itu kami cukup menikmati yang kami temui saja di jalan. Misalkan kami pergi ke Sukabumi, maka Lido bukanlah tujuan utama, melainkan "tepian" Lido yang kala itu juga masih asri. Kami berhenti di pinggir jalan, menggelar tikar, mengobrol, memandang Lido dari kejauhan, sambil menikmati bekal santap siang yang sudah disiapkan Ibu. Juga ketika kami pergi ke Puncak, yang dilakukan hanyalah menikmati pemandangan kebun teh, menelusuri jalan setapak, dan menghirup udara segar. Wisata sederhana namun sangat berkesan. Kecintaan akan alam terus terbawa hingga kami dewasa dan kami tularkan kembali kepada anak-anak kami, cucu-cucu Bapak.
Bapak itu Pahlawan..
Bintang tanda jasa atas usaha Bapak menjadi orangtua yang terbaik bagi kami memang tak tampak di pundak Bapak tetapi jelas sekali Bapak telah berjasa menanamkan nilai-nilai kehidupan dan memberikan teladan yang nyata.
Sampai akhir hayatnya, Bapak tak bosan mengingatkan, menenangkan, dan meneguhkan kami sekeluarga.
Saat tubuhnya terasa membaik, Bapak masih sempat berkelakar dengan mengatakan kepada kakak saya, kalau Bapak ingin pulang naik bis, transportasi yang biasa kami gunakan untuk mengunjungi Bapak ke rumah sakit.
Perkataan yang menenangkan namun selang beberapa hari kemudian Bapak berpulang padaNya.
Pusara Bapak pun menjadi penanda akhir kebersamaan.
Tetapi Bapak selalu ada di hati.
Sungguh masih amatlah sedikit kami membahagiakan beliau semasa hidup.
Kini rindu senantiasa mengiringi ucapan terimakasih dan doa yang tak henti..
Semoga Allah yang akan membalas jasa-jasa Bapak, dengan berjuta rahmat dan ampunan ..
Aamiin
Saya duduk di bangku kelas 2 SD, cawu kedua, saat Bapak dipanggil Allah.
Waktu yang terbilang singkat, tetapi saya si pengamat kecil, merasa bangga sekali punya orangtua seperti Bapak.
Bapak itu suka berteman..
Demikian yang saya amati dari keseharian bersama Bapak.
Hampir setiap hari selepas isya ada saja yang datang bertamu ke rumah.
Sesekali, Bapak menyengaja membeli minuman botol di pasar sebagai stok suguhan minuman bagi para tamu yang akan datang. Wah, begitu melihat Bapak mengeluarkan motor saya pasti bergegas ikut, duduk di bagian depan, menemani Bapak seraya menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi.
Ibu pun seperti mengerti kesukaan Bapak, sering membuat cemilan-cemilan enak sebagai penambah suguhan bagi para tamu.
Dalam kehangatannya menyambut tamu, Bapak meletakkan dalam memori saya, bagaimana seharusnya bersikap memuliakan tamu dan mensyukuri sebuah pertemanan.
Kata Ibu, Bapak senang sekali saat saya lahir. Bapak memang mengharapkan memiliki anak perempuan. Karena 3 anak sebelumnya laki-laki. Setelah saya berusia 5 tahun, Bapak kerapkali membelikan saya pakaian yang sama persis dengan Ibu. Hanya beda ukuran saja. Sampai-sampai Ibu pernah berceletuk "Punya anak perempuan jadi kayak punya kembaran.." Hehehe.. Mungkin karena Bapak senang melihat anak dan ibu seperti kompak. Tetapi meski saya anak perempuan satu-satunya, Bapak tidak pernah memanjakan. Tidak semua yang saya minta pasti Bapak penuhi. Pernah suatu ketika, saat rapor kelas 1 saya memuaskan (dan saya tahu Bapak bangga sekali dengan prestasi ini), saya meminta dibelikan boneka sebagai hadiah, tetapi Bapak malah membelikan buku saku rumus matematika. Rumus-rumus yang baru akan saya pelajari di kelas 3 SD nanti. Bisa dibayangkan betapa kecewanya saya. Bukan mainan yang didapat melainkan buku pelajaran! Saya pun merajuk dan menangis. Awalnya Bapak membujuk tapi lama-lama malah jadi kesal karena saya semakin merajuk dan semakin keras menangis. Setengah marah Bapak mengatakan buku ini lebih penting dari mainan. Karena takut melihat Bapak yang mulai marah tangis saya pun perlahan berhenti. Sambil sesegukan setengah terpaksa saya menerima hadiah dari Bapak. Setahun kemudian memang buku rumus itu mulai terasa manfaatnya. Dan setiap melihatnya, saya teringat kembali peristiwa ini.
Sebagaimana "anak kolong" lainnya, kami pun dididik dengan disiplin oleh Bapak. Terutama disiplin dalam menunaikan ibadah sholat. Jika tidak ke mesjid, kami sholat berjamaah di rumah. Bapak selalu memantau kedisplinan sholat kami. Kalau lalai, sapu lidi kecil sudah pasti menyapa betis. Tidak keras tapi cukup memberi efek jera dan membuat bergegas sholat. Disiplin yang sama juga Bapak terapkan dalam menuntut ilmu. Bapak tidak menekankan nilai rapor anak-anaknya harus bagus. Tetapi bersungguh-sungguh itu wajib. Dan Bapak tidak mentolerir bolos. Ketahuan bolos, maka lagi-lagi sapu lidi menyapa betis. Sapaan itu berhenti sampai kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Setelah kami besar, kami sering membicarakan masa-masa penuh disiplin bersama Bapak. Kami sepakat, hasil ajaran Bapaklah yang membuat kami terbiasa berusaha bersungguh-sungguh. Kami semua betah berlama-lama mengerjakan sesuatu yang membuat kami penasaran akan hasilnya. Kegagalan tak pernah membuat berhenti. Terkadang, masa ini menjadi bahan candaan juga, bermain tebak-tebakan siapa yang paling banyak disapa betisnya oleh sapu lidi..apalagi ditambah mengingat penyebabnya.. hahahaha.. kami berempat tertawa geli.
Bapak yang keras dalam menekankan disiplin, adalah Bapak yang juga cinta dengan alam. Bapak menularkan kecintaannya ini dengan sering mengajak kami berjalan-jalan di hari libur menikmati pemandangan. Jangan dikira kami mengunjungi tempat wisata, bukan..bukan ke sana tujuan kami. Tempat wisata hanya kami kunjungi saat kami mudik lebaran. Itu pun bersama keluarga besar dari pihak Ibu. Sementara dengan pihak keluarga Bapak kami lebih banyak bersilaturahmi dari satu saudara ke saudara lainnya. Di luar itu kami cukup menikmati yang kami temui saja di jalan. Misalkan kami pergi ke Sukabumi, maka Lido bukanlah tujuan utama, melainkan "tepian" Lido yang kala itu juga masih asri. Kami berhenti di pinggir jalan, menggelar tikar, mengobrol, memandang Lido dari kejauhan, sambil menikmati bekal santap siang yang sudah disiapkan Ibu. Juga ketika kami pergi ke Puncak, yang dilakukan hanyalah menikmati pemandangan kebun teh, menelusuri jalan setapak, dan menghirup udara segar. Wisata sederhana namun sangat berkesan. Kecintaan akan alam terus terbawa hingga kami dewasa dan kami tularkan kembali kepada anak-anak kami, cucu-cucu Bapak.
Bapak itu Pahlawan..
Bintang tanda jasa atas usaha Bapak menjadi orangtua yang terbaik bagi kami memang tak tampak di pundak Bapak tetapi jelas sekali Bapak telah berjasa menanamkan nilai-nilai kehidupan dan memberikan teladan yang nyata.
Sampai akhir hayatnya, Bapak tak bosan mengingatkan, menenangkan, dan meneguhkan kami sekeluarga.
Saat tubuhnya terasa membaik, Bapak masih sempat berkelakar dengan mengatakan kepada kakak saya, kalau Bapak ingin pulang naik bis, transportasi yang biasa kami gunakan untuk mengunjungi Bapak ke rumah sakit.
Perkataan yang menenangkan namun selang beberapa hari kemudian Bapak berpulang padaNya.
Pusara Bapak pun menjadi penanda akhir kebersamaan.
Tetapi Bapak selalu ada di hati.
Sungguh masih amatlah sedikit kami membahagiakan beliau semasa hidup.
Kini rindu senantiasa mengiringi ucapan terimakasih dan doa yang tak henti..
Semoga Allah yang akan membalas jasa-jasa Bapak, dengan berjuta rahmat dan ampunan ..
Aamiin
Selasa, November 21, 2017
Ibuku Pahlawanku
Oh Ibuku.. dengarkanlah suara dalam hatiku..
Ku bersyukur, ku bahagia, atas limpahan nikmatNya
Ku ingat hari-hari lalu, Ku ingat masa-masa lalu
Betapa senang ketikaku bersama Ibu..
Kau ajar aku, mengenal Allah lewat sholat dan puasa
Kau ajar aku, mencinta Allah lewat apa yang dicipta
Jalinan kasih darimu Ibu, terukir indah dalam hatiku
Kesabaranmu tak pernah surut oleh sang waktu
Yaa Allah Maha Penyayang, sayangilah Ibuku
Yaa Allah Maha Pengasih, beri petunjuk kami selamanya..
Menyanyikan nasyid yang saya buat untuk ibu dan menuliskan kembali kisah bersama Ibu, membawa saya berlayar ke masa-masa bersama beliau. Iya, Desember 2003 Ibu tiada. Saat itu anak kedua saya baru menjelang usia 4 bulan. Masih teringat jelas saat Ibu membesuk saya di rumah sakit selepas melahirkan. Entah mengapa rasanya ingin sekali menahan Ibu untuk tetap tinggal dan menginap di rumah sakit. Tapi Ibu harus pulang. Dan setelah Ibu meninggalkan kamar, air mata pun tak terbendung. Sesak di dada menampung rasa ingin bersama Ibu...
Ibu saya perempuan luar biasa. Seingat saya, beliau tidak pernah mengucapkan kata "Ibu sayang kamu Nak" atau "I love u Nak" atau yang sejenisnya. Tetapi cinta Ibu terasa begitu besar untuk kami, anak-anaknya. Di setiap hal yang beliau lakukan. Di cemilan sore yang sengaja beliau buatkan untuk kami nikmati bersama, di pakaian yang Ibu buat dengan jahitan tangan , juga di tengah upaya kerasnya agar kami, 4 bersaudara ini, bisa terus sekolah sampai perguruan tinggi. Sepeninggal Bapak, ibulah yang mengambil alih tugas sebagai tulang punggung keluarga.
Bukanlah hal mudah berubah secara mendadak dari seorang ibu rumahan yang hanya tahu mengurus anak, menjahit, memasak, sambil sesekali mengikuti kegiatan ibu-ibu Dharma Wanita, menjadi seorang ibu yang harus bermental baja, bertambah tugas mencari nafkah. Karena mengandalkan uang pensiun Bapak saja tidak cukup. Apalagi saat itu kakak saya yang paling besar belum lama kuliah, kakak kedua duduk di bangku SMA, kakak ketiga duduk di bangku SMP, sedangkan saya masih duduk di bangku kelas 2 SD. Ibu memiliki harapan tinggi untuk masa depan kami. Segala upaya halal yang bisa dilakukan, pasti Ibu lakukan.
Karena di masa itu masih banyak para ibu yang mengenakan kain batik, maka usaha pertama yang ibu pilih adalah berjualan kain batik. Dulu, sewaktu Bapak masih ada, kami sering ke Solo (Bapak berasal dari Solo) dan beberapa kali mengunjungi pasar Klewer. Pasar inilah yang Ibu pilih untuk membeli kain batik. Ibu berangkat menggunakan kereta pagi menuju Cirebon, kota kelahiran Ibu, terlebih dahulu. Lalu Ibu mengajak adiknya (saya memanggil dengan sebutan Tante) untuk menemani beliau berbelanja batik. Dengan kereta malam, mereka pun berangkat ke Solo. Adzan subuh belum juga berkumandang saat mereka tiba di stasiun. Sambil menunggu pasar memulai aktivitasnya, Ibu dan Tante beristirahat di Masjid Agung yang tak jauh dari pasar Klewer. Dan setelah pedagang kain membuka kiosnya, Ibu mulai memilih dan membeli kain batik yang hendak dijual. Selesai berbelanja, Ibu langsung pulang kembali ke Jakarta, tidak langsung ke rumah, melainkan ke kantor tempat Bapak bekerja dulu menawarkan dagangannya, baru kemudian kembali ke Depok. Begitu terus selama beberapa waktu.
Saat kain batik mulai berkurang peminatnya dan sedang banyak yang menggunakan rok jeans, Ibu pun berganti haluan menjual rok jeans. Kali ini Ibu tidak ke Solo, tetapi ke pasar Tanah Abang saja. Di pasar tersebut, ada teman kakak saya juga yang memiliki kios tas produksi sendiri. Mulai dari tas sekolah sampai tas bepergian. Ibu boleh ambil tanpa modal sepeser pun. Tas yang tidak terjual boleh dikembalikan tanpa denda. Alhamdulillah, ini sangat meringankan untuk Ibu. Sore hari, adalah waktu bagi Ibu untuk menawarkan dagangannya, dari rumah ke rumah. "Sambil silaturahmi" kata Ibu. Ada yang tertarik membeli, ada yang tidak. Semua Ibu layani dengan sabar.
Usaha Ibu berganti lagi. Saya lupa penyebabnya apa tetapi saat itu beliau beberapa kali ke rumah sakit untuk fisioterapi. Demikian juga dengan saya yang beberapa kali harus bolak balik berobat ke dokter, baik karena demam, operasi kecil, dan lain-lain. Ibu memilih menerima pesanan kue dan berjualan es mambo saja. Kue lapis, kue sakura, bolu kukus, talam asin, serabi, merupakan beberapa kue yang menjadi andalan Ibu. Senang berlama-lama duduk menemani Ibu membuat kue. Ikut mencicipi adonan, seraya berharap ada kue matang yang bisa saya icipi juga.
Malam hari digunakan Ibu untuk membuat es Mambo Kacang Hijau, dengan gula asli tentunya. Hingga rasa manisnya lebih awet dan sehat. Tugas saya dan kakak mengantarkan termos berisi es ini untuk dititipkan ke beberapa warung. Termasuk warung yang ada di sekolah saya.
Melihat perjuangan Ibu, tanpa Ibu perlu meminta, kami semua sadar diri dan ingin membantu semampu yang kami bisa. Kakak saya yang kuliah berusaha mendapatkan beasiswa untuk memenuhi biaya kuliah yang cukup besar, kakak yang SMP menghemat uang bekal dengan mengendarai sepeda menuju sekolah yang cukup jauh jaraknya dan sisa uang bekal ditabung untuk keperluan sekolah lainnya atau sesekali membelikan benda yang saya suka sebagai hadiah penghibur. Sementara saya dengan cara berusaha menerima apa saja yang Ibu berikan tanpa protes. Mulai dari uang jajan yang tak seberapa (jatah jajan 6 hari saya sama dengan jatah teman saya jajan 1 hari), baju yang lebih banyak hasil jahitan ibu dengan bahan seadanya (seringnya dari sisa kain katun pesanan jahitan sprei), dan pilihan sepatu semurah mungkin, meski akhirnya gampang jebol dan harus ganti lagi.
Rasanya semua yang kami lakukan tetap tak sebanding dengan apa yang sudah Ibu berikan. Tak pernah kami mendengar ibu mengeluh lelah mencari nafkah sambil tetap mengurus keperluan kami sehari-hari. Ibu, adalah pahlawan yang telah mengajarkan banyak hal tanpa banyak kata dan menunjukkan indahnya sabar di setiap peristiwa. Mengingat beliau, membuat kami mengingat ketegaran seorang Ibu yang seakan memiliki kekuatan tanpa batas demi anak-anaknya.
Doa kami untukmu Ibu, semoga semua lelahmu, membuahkan senyum di alam sana, dan berbalas pahala serta keridhoanNya..
Aamiin Yaa Robbal'aalamiin
Ku bersyukur, ku bahagia, atas limpahan nikmatNya
Ku ingat hari-hari lalu, Ku ingat masa-masa lalu
Betapa senang ketikaku bersama Ibu..
Kau ajar aku, mengenal Allah lewat sholat dan puasa
Kau ajar aku, mencinta Allah lewat apa yang dicipta
Jalinan kasih darimu Ibu, terukir indah dalam hatiku
Kesabaranmu tak pernah surut oleh sang waktu
Yaa Allah Maha Penyayang, sayangilah Ibuku
Yaa Allah Maha Pengasih, beri petunjuk kami selamanya..
Menyanyikan nasyid yang saya buat untuk ibu dan menuliskan kembali kisah bersama Ibu, membawa saya berlayar ke masa-masa bersama beliau. Iya, Desember 2003 Ibu tiada. Saat itu anak kedua saya baru menjelang usia 4 bulan. Masih teringat jelas saat Ibu membesuk saya di rumah sakit selepas melahirkan. Entah mengapa rasanya ingin sekali menahan Ibu untuk tetap tinggal dan menginap di rumah sakit. Tapi Ibu harus pulang. Dan setelah Ibu meninggalkan kamar, air mata pun tak terbendung. Sesak di dada menampung rasa ingin bersama Ibu...
Ibu saya perempuan luar biasa. Seingat saya, beliau tidak pernah mengucapkan kata "Ibu sayang kamu Nak" atau "I love u Nak" atau yang sejenisnya. Tetapi cinta Ibu terasa begitu besar untuk kami, anak-anaknya. Di setiap hal yang beliau lakukan. Di cemilan sore yang sengaja beliau buatkan untuk kami nikmati bersama, di pakaian yang Ibu buat dengan jahitan tangan , juga di tengah upaya kerasnya agar kami, 4 bersaudara ini, bisa terus sekolah sampai perguruan tinggi. Sepeninggal Bapak, ibulah yang mengambil alih tugas sebagai tulang punggung keluarga.
Bukanlah hal mudah berubah secara mendadak dari seorang ibu rumahan yang hanya tahu mengurus anak, menjahit, memasak, sambil sesekali mengikuti kegiatan ibu-ibu Dharma Wanita, menjadi seorang ibu yang harus bermental baja, bertambah tugas mencari nafkah. Karena mengandalkan uang pensiun Bapak saja tidak cukup. Apalagi saat itu kakak saya yang paling besar belum lama kuliah, kakak kedua duduk di bangku SMA, kakak ketiga duduk di bangku SMP, sedangkan saya masih duduk di bangku kelas 2 SD. Ibu memiliki harapan tinggi untuk masa depan kami. Segala upaya halal yang bisa dilakukan, pasti Ibu lakukan.
Karena di masa itu masih banyak para ibu yang mengenakan kain batik, maka usaha pertama yang ibu pilih adalah berjualan kain batik. Dulu, sewaktu Bapak masih ada, kami sering ke Solo (Bapak berasal dari Solo) dan beberapa kali mengunjungi pasar Klewer. Pasar inilah yang Ibu pilih untuk membeli kain batik. Ibu berangkat menggunakan kereta pagi menuju Cirebon, kota kelahiran Ibu, terlebih dahulu. Lalu Ibu mengajak adiknya (saya memanggil dengan sebutan Tante) untuk menemani beliau berbelanja batik. Dengan kereta malam, mereka pun berangkat ke Solo. Adzan subuh belum juga berkumandang saat mereka tiba di stasiun. Sambil menunggu pasar memulai aktivitasnya, Ibu dan Tante beristirahat di Masjid Agung yang tak jauh dari pasar Klewer. Dan setelah pedagang kain membuka kiosnya, Ibu mulai memilih dan membeli kain batik yang hendak dijual. Selesai berbelanja, Ibu langsung pulang kembali ke Jakarta, tidak langsung ke rumah, melainkan ke kantor tempat Bapak bekerja dulu menawarkan dagangannya, baru kemudian kembali ke Depok. Begitu terus selama beberapa waktu.
Saat kain batik mulai berkurang peminatnya dan sedang banyak yang menggunakan rok jeans, Ibu pun berganti haluan menjual rok jeans. Kali ini Ibu tidak ke Solo, tetapi ke pasar Tanah Abang saja. Di pasar tersebut, ada teman kakak saya juga yang memiliki kios tas produksi sendiri. Mulai dari tas sekolah sampai tas bepergian. Ibu boleh ambil tanpa modal sepeser pun. Tas yang tidak terjual boleh dikembalikan tanpa denda. Alhamdulillah, ini sangat meringankan untuk Ibu. Sore hari, adalah waktu bagi Ibu untuk menawarkan dagangannya, dari rumah ke rumah. "Sambil silaturahmi" kata Ibu. Ada yang tertarik membeli, ada yang tidak. Semua Ibu layani dengan sabar.
Usaha Ibu berganti lagi. Saya lupa penyebabnya apa tetapi saat itu beliau beberapa kali ke rumah sakit untuk fisioterapi. Demikian juga dengan saya yang beberapa kali harus bolak balik berobat ke dokter, baik karena demam, operasi kecil, dan lain-lain. Ibu memilih menerima pesanan kue dan berjualan es mambo saja. Kue lapis, kue sakura, bolu kukus, talam asin, serabi, merupakan beberapa kue yang menjadi andalan Ibu. Senang berlama-lama duduk menemani Ibu membuat kue. Ikut mencicipi adonan, seraya berharap ada kue matang yang bisa saya icipi juga.
Malam hari digunakan Ibu untuk membuat es Mambo Kacang Hijau, dengan gula asli tentunya. Hingga rasa manisnya lebih awet dan sehat. Tugas saya dan kakak mengantarkan termos berisi es ini untuk dititipkan ke beberapa warung. Termasuk warung yang ada di sekolah saya.
Melihat perjuangan Ibu, tanpa Ibu perlu meminta, kami semua sadar diri dan ingin membantu semampu yang kami bisa. Kakak saya yang kuliah berusaha mendapatkan beasiswa untuk memenuhi biaya kuliah yang cukup besar, kakak yang SMP menghemat uang bekal dengan mengendarai sepeda menuju sekolah yang cukup jauh jaraknya dan sisa uang bekal ditabung untuk keperluan sekolah lainnya atau sesekali membelikan benda yang saya suka sebagai hadiah penghibur. Sementara saya dengan cara berusaha menerima apa saja yang Ibu berikan tanpa protes. Mulai dari uang jajan yang tak seberapa (jatah jajan 6 hari saya sama dengan jatah teman saya jajan 1 hari), baju yang lebih banyak hasil jahitan ibu dengan bahan seadanya (seringnya dari sisa kain katun pesanan jahitan sprei), dan pilihan sepatu semurah mungkin, meski akhirnya gampang jebol dan harus ganti lagi.
Rasanya semua yang kami lakukan tetap tak sebanding dengan apa yang sudah Ibu berikan. Tak pernah kami mendengar ibu mengeluh lelah mencari nafkah sambil tetap mengurus keperluan kami sehari-hari. Ibu, adalah pahlawan yang telah mengajarkan banyak hal tanpa banyak kata dan menunjukkan indahnya sabar di setiap peristiwa. Mengingat beliau, membuat kami mengingat ketegaran seorang Ibu yang seakan memiliki kekuatan tanpa batas demi anak-anaknya.
Doa kami untukmu Ibu, semoga semua lelahmu, membuahkan senyum di alam sana, dan berbalas pahala serta keridhoanNya..
Aamiin Yaa Robbal'aalamiin
Jumat, November 17, 2017
Belajar Kreatifitas di IIP
Kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional yang saya ikuti kini sudah memasuki game level #9. Tema yang diusung adalah “Be Creative”. Duh membaca tulisan “Creative” mata saya berbinar-binar. Terbayang asiknya berkreatifitas. Iya, bagi saya berkreatif berarti saya akan mengerjakan sesuatu yang membuat saya betah berlama-lama dan hal yang dihasilkan membuat saya selalu merasa senang. Dan kata kreatif sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti : 1) memiliki daya cipta; kemampuan untuk mencipta; 2) bersifat mencipta.
Selasa, November 14, 2017
Rumah Stik Atap Kardus
Lalu si ragil berinisiatif membuat atap dari kardus saja supaya mudah. Beberapa kardus bekas di ambil. Kertas kardus ini memiliki beragam ketebalan. Ia pun memilih mana yang lebih mudah ditekuk untuk membuat atap. Alhamdulillah didapatkan juga potongan kardus dengan ketebalan yang tepat dan sesuai dengan ukuran atapnya. Masalah berikutnya, bagaimana cara menempelkan pada dinding rumah?
Oke, langkah pertama adalah dengan menggunakan lem. "Lem cair atau lem putih ya.. eh atau pakai double tape?" gumamnya.
"Pakai lem cair mah gak bisa Dek.. coba pakai lem putih" saran saja.
Ternyata kardusnya tidak menempel kuat pada stik dengan menggunakan lem putih.
Akhirnya dicoba dengan menggunakan double tape tetapi dengan menggunakan tambahan 2 stik es krim masing-masing pada sisi kanan dan kiri sebagai pondasi atap.
Alhamdulillah bisa!
Tinggal menambahkan genting.
"Aku maunya atap coklat"
"Yaahh kertasnya ada warna hitam"
"Eh ada nih pakai kertas amplop coklat"
Si Ragil pun mulai menggunting-gunting.
Hasil ukurannya tidak sama persis, tapi ia tak mempermasalahkannya, terus menggunting hingga selesai dan menempelkannya satu per satu.
Kini rumah stik es krim ala si Ragil pun selesai 😍
Rumah Stik Atap Kardus |
Minggu, November 05, 2017
Membuat Box Kardus Pakaian
Bulan yang lalu ada kulwap di wag Institut Ibu Profesional tentang metode Konmari. Sebenarnya saya sudah pernah mendengar metode ini sejak lama. Hanya saja belum terpikir untuk mempraktekkannya
Written November 05, 2017 by Farida Ariyani
No comments
Langganan:
Postingan (Atom)