Kebersamaan saya dengan Bapak.. terbatas hingga usia 7 tahun saja.
Saya duduk di bangku kelas 2 SD, cawu kedua, saat Bapak dipanggil Allah.
Waktu yang terbilang singkat, tetapi saya si pengamat kecil, merasa bangga sekali punya orangtua seperti Bapak.
Bapak itu suka berteman..
Demikian yang saya amati dari keseharian bersama Bapak.
Hampir setiap hari selepas isya ada saja yang datang bertamu ke rumah.
Sesekali, Bapak menyengaja membeli minuman botol di pasar sebagai stok suguhan minuman bagi para tamu yang akan datang. Wah, begitu melihat Bapak mengeluarkan motor saya pasti bergegas ikut, duduk di bagian depan, menemani Bapak seraya menikmati angin sore yang bertiup sepoi-sepoi.
Ibu pun seperti mengerti kesukaan Bapak, sering membuat cemilan-cemilan enak sebagai penambah suguhan bagi para tamu.
Dalam kehangatannya menyambut tamu, Bapak meletakkan dalam memori saya,
bagaimana seharusnya bersikap memuliakan tamu dan mensyukuri sebuah
pertemanan.
Kata Ibu, Bapak senang sekali saat saya lahir. Bapak memang mengharapkan memiliki anak perempuan. Karena 3 anak sebelumnya laki-laki. Setelah saya berusia 5 tahun, Bapak kerapkali membelikan saya pakaian yang sama persis dengan Ibu. Hanya beda ukuran saja. Sampai-sampai Ibu pernah berceletuk "Punya anak perempuan jadi kayak punya kembaran.." Hehehe.. Mungkin karena Bapak senang melihat anak dan ibu seperti kompak. Tetapi meski saya anak perempuan satu-satunya, Bapak tidak pernah memanjakan. Tidak semua yang saya minta pasti Bapak penuhi. Pernah suatu ketika, saat rapor kelas 1 saya memuaskan (dan saya tahu Bapak bangga sekali dengan prestasi ini), saya meminta dibelikan boneka sebagai hadiah, tetapi Bapak malah membelikan buku saku rumus matematika. Rumus-rumus yang baru akan saya pelajari di kelas 3 SD nanti. Bisa dibayangkan betapa kecewanya saya. Bukan mainan yang didapat melainkan buku pelajaran! Saya pun merajuk dan menangis. Awalnya Bapak membujuk tapi lama-lama malah jadi kesal karena saya semakin merajuk dan semakin keras menangis. Setengah marah Bapak mengatakan buku ini lebih penting dari mainan. Karena takut melihat Bapak yang mulai marah tangis saya pun perlahan berhenti. Sambil sesegukan setengah terpaksa saya menerima hadiah dari Bapak. Setahun kemudian memang buku rumus itu mulai terasa manfaatnya. Dan setiap melihatnya, saya teringat kembali peristiwa ini.
Sebagaimana "anak kolong" lainnya, kami pun dididik dengan disiplin oleh Bapak. Terutama disiplin dalam menunaikan ibadah sholat. Jika tidak ke mesjid, kami sholat berjamaah di rumah. Bapak selalu memantau kedisplinan sholat kami. Kalau lalai, sapu lidi kecil sudah pasti menyapa betis. Tidak keras tapi cukup memberi efek jera dan membuat bergegas sholat. Disiplin yang sama juga Bapak terapkan dalam menuntut ilmu. Bapak tidak menekankan nilai rapor anak-anaknya harus bagus. Tetapi bersungguh-sungguh itu wajib. Dan Bapak tidak mentolerir bolos. Ketahuan bolos, maka lagi-lagi sapu lidi menyapa betis. Sapaan itu berhenti sampai kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Setelah kami besar, kami sering membicarakan masa-masa penuh disiplin bersama Bapak. Kami sepakat, hasil ajaran Bapaklah yang membuat kami terbiasa berusaha bersungguh-sungguh. Kami semua betah berlama-lama mengerjakan sesuatu yang membuat kami penasaran akan hasilnya. Kegagalan tak pernah membuat berhenti. Terkadang, masa ini menjadi bahan candaan juga, bermain tebak-tebakan siapa yang paling banyak disapa betisnya oleh sapu lidi..apalagi ditambah mengingat penyebabnya.. hahahaha.. kami berempat tertawa geli.
Bapak yang keras dalam menekankan disiplin, adalah Bapak yang juga cinta dengan alam. Bapak menularkan kecintaannya ini dengan sering mengajak kami berjalan-jalan di hari libur menikmati pemandangan. Jangan dikira kami mengunjungi tempat wisata, bukan..bukan ke sana tujuan kami. Tempat wisata hanya kami kunjungi saat kami mudik lebaran. Itu pun bersama keluarga besar dari pihak Ibu. Sementara dengan pihak keluarga Bapak kami lebih banyak bersilaturahmi dari satu saudara ke saudara lainnya. Di luar itu kami cukup menikmati yang kami temui saja di jalan. Misalkan kami pergi ke Sukabumi, maka Lido bukanlah tujuan utama, melainkan "tepian" Lido yang kala itu juga masih asri. Kami berhenti di pinggir jalan, menggelar tikar, mengobrol, memandang Lido dari kejauhan, sambil menikmati bekal santap siang yang sudah disiapkan Ibu. Juga ketika kami pergi ke Puncak, yang dilakukan hanyalah menikmati pemandangan kebun teh, menelusuri jalan setapak, dan menghirup udara segar. Wisata sederhana namun sangat berkesan. Kecintaan akan alam terus terbawa hingga kami dewasa dan kami tularkan kembali kepada anak-anak kami, cucu-cucu Bapak.
Bapak itu Pahlawan..
Bintang tanda jasa atas usaha Bapak menjadi orangtua yang terbaik bagi kami memang tak tampak di pundak Bapak tetapi jelas sekali Bapak telah berjasa menanamkan nilai-nilai kehidupan dan memberikan teladan yang nyata.
Sampai akhir hayatnya, Bapak tak bosan mengingatkan, menenangkan, dan meneguhkan kami sekeluarga.
Saat tubuhnya terasa membaik, Bapak masih sempat berkelakar dengan mengatakan kepada kakak saya, kalau Bapak ingin pulang naik bis, transportasi yang biasa kami gunakan untuk mengunjungi Bapak ke rumah sakit.
Perkataan yang menenangkan namun selang beberapa hari kemudian Bapak berpulang padaNya.
Pusara Bapak pun menjadi penanda akhir kebersamaan.
Tetapi Bapak selalu ada di hati.
Sungguh masih amatlah sedikit kami membahagiakan beliau semasa hidup.
Kini rindu senantiasa mengiringi ucapan terimakasih dan doa yang tak henti..
Semoga Allah yang akan membalas jasa-jasa Bapak, dengan berjuta rahmat dan ampunan ..
Aamiin
Jumat, November 24, 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar
Haiii.. tanpa mengurangi keakraban, silahkan berkomentar dengan baik dan sopan yaa.. Komentar bersifat spam tidak akan dipublikasi