Minggu, Maret 31, 2019

Cinta Masakan Tradisional


Iyesss..Kelas Minat Dapur Emak Ibu Profesional Depok dimulai lagi.  Kelas minat ini merupakan tempat bagi para ibu, member Ibu Profesional Depok, yang memiliki minat sama. Dan Dapur Emak mengumpulkan para ibu yang memiliki minat pada dunia masak dan kuliner.  Dalam Dapur Emak, ada 3 tingkatan kelas yakni kelas Dasar, Menengah, dan lanjutan.  Triwulan kali ini  masih di term kelas Dasar namun berbeda dengan tema kelas Dasar sebelumnya, kali ini kami tim kreatif Dapur mengambil tema Masakan Tradisional. Terbayang rempah-rempah, aroma yang kuat, dan mungkin sedikit tak biasa untuk anak-anak yang sekarang lebih sering mencicipi fried chicken, burger, pizza,serta masakan barat lainnya. Tantangan bagi para ibu untuk mengenalkan masakan Indonesia

Kami memulai dengan masak kompakan membuat Sambal Indonesia.  Untuk menambah referensi, tim kreatif Dapur Emak membuat daftar Sambal Indonesia yang umum diketahui.  Ternyata ada 17 jenis sambal lebih! ini belum semua provinsi di Indonesia lho. Maa syaa Allah Indonesia memang kereen 👍👍
Saya sendiri mengawali tantangan ini dengan membuat sambal korek/sambal penyet. Bahan utamanya cukup mudah, hanya cabe rawit merah (ada juga yang menyebutnya cabe rawit setan) 'dan bawang putih. Resep ini saya dapatkan dari kakak ipar, sebagai pelengkap santapan bebek goreng. Hanya saja karena di rumah tidak suka yang terlalu pedas, maka saya tambahkan cabe merah keriting sekitar 90 gram dan 8 cabe rawit merah serta garam dan gula secukupnya.  Alhamdulillah sukses membuat selera makan bertambah.  Apalagi ditemani dipenyetkan ke tahu hangat.. alamaakk!


Sambal berikutnya yang saya buat adalah sambal bawang cabe hijau dan sambal matang. Hiks..sayaang gak kefoto karena sudah habis (ini alasan mengapa penting memfoto makanan sebelum makan 😝😀).  Tetapi di satu sisi senang juga berarti sambal buatan saya disukai keluarga. Apalagi mengingat butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk bisa membuat sambal enak. Eh bener lho.. walaupun sepertinya hanya mengulek cabe tapi butuh kemampuan tersendiri untuk menyeimbangkan rasa pedasnya terutama karena saya tidak menggunakan penyedap rasa buatan.

Gak cuma sambal tetapi beberapa jenis masakan nusantara pun lainnya kami bahas dan praktekkan bersama dalam kegiatan "Masak Kompakan".  Kami bertukar resep (beberapa merupakan resep andalan keluarga), bertukar info bumbu masakan tradisional, cara mengolah dan menyimpan makanan, tips, dan lain-lain. Ternyata ngobrol tentang masakan tradisonal sama serunya dengan membahas masakan kekinian. Dan yang pasti, semakin menambah kecintaan pada kekayaan masakan tradisional Indonesia.  Cinta yang perlu ditularkan pada anak-anak.





Minggu, Maret 24, 2019

Menantu Pertama

Lalu lintas di Depok hari Minggu siang ini sungguh macet.  Biasanya hanya hari Sabtu saja yang demikian.  Akibatnya waktu tempuh menjadi dua kali lipat. Kami pun terlambat sampai ke rumah kakak saya yang paling besar.  Hari ini saya dan kakak-kakak (beserta keluarga masing-masing) mengadakan makan siang bersama.  Selain tujuan silaturahmi, acara ini sengaja digagas untuk memulai suatu kebiasaan dalam keluarga besar, menyambut anggota baru. Alhamdulillah awal bulan ini keponakan saya baru saja menikah. Istrinya menjadi menantu pertama dalam keluarga besar kami. Saatnya berkenalan dengan anggota keluarga baru! 😍

Silaturahmi seperti ini bukan kali pertama kami lakukan. Alhamdulillah setiap menjelang bulan Romadhon, di bulan Romadhon, atau setelah lebaran, kami selalu berkumpul. Minus kakak kedua karena tinggal di luar kota. Biasanya hanya makan dan mengobrol santai saja tanpa topik yang resmi. Pertemuan tadi menyadarkan kami bahwa pembicaraan dengan topik khusus ternyata bisa menjadi hiburan karena kami terpingkal-pingkal geli melihat kecanggungan masing-masing saat saling mengenalkan diri. Kalimat-kalimat yang keluar mendadak bahasa baku dan seringnya malah salah ucap. Seperti tiba-tiba lupa anak urutan ke berapa dalam keluarga, kakak dan adik tertukar, biasanya cerewet jadi malu-malu.. haduuuhh!  Keponakan saya yang baru menikah itu malah mengawali perkenalan dengan mengatakan "Kenalkan.. ini istri baru saya.." Hahahahhaha kesannya sudah berapa kali menikah..padahal ini kan pernikahan pertamanya 😂

Cukup repot juga membuat janji bertemu offline, mencocokkan waktu semua bisa berkumpul.  Ada yang ulangan, kondangan, dll.  Memang lebih mudah membuat janji pertemuan online, tetapi menurut saya tetap saja membutuhkan pertemuan offline.  Akan berbeda rasa kedekatannya saat kita bisa bertatapan langsung, bersalaman, dan memperhatikan bahasa ubuh selama bercakap.  Juga rasa disambut dan diterima sebagai anggota keluarga yang baru.

Kebiasaan menerima dan mengenalkan anggota baru ini sebenarnya saya tiru juga dari kebiasaan keluarga besar suami dari pihak ibu. Setahun sekali, di acara halal bihalal, ada sesi perkenalan khusus keluarga baru. Saya ingat sekali saat bersama suami mengenalkan diri di tengah-tengah keluarga besar yang jumlahnya lebih banyak. Tantangan deh.. ada rasa grogi, ditertawakan juga karena grogi, tapi menyenangkan karena mengurangi canggung setelahnya untuk menyapa.

Semoga menjadi awal untuk perkenalan-perkenalan berikutnya dan menambah kuat ikatan kekeluargaan.  Saya ingin kebiasaan silaturahmi offline tetap terjaga dalam keluarga kami sampai generasi berikutnya.. aamiin

Sabtu, Maret 23, 2019

Peran Kehidupan

Dunia ini panggung sandiwara..
Ceritanya mudah berubah
Ada Mahabrata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita mendapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura

Mengapa kita bersandiwara.. mengapa kita bersandiwara

Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak
Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan..

Ngacuuung, siapa yang baca lirik lagu "Panggung Astria"nya Nicky Astria ini otomatis sambil nyanyi? 🙋
Berarti tahun lahirnya berdekatan dengan saya 😁 toos ah!
Angkatan jadul.. hahahhahaa

Ngomongin soal peran, media sosial merupakan salah satu cara yang mudah lho untuk mengamati peran kehidupan dipilih oleh seseorang. Meski yang tampak di media sosial belum tentu sesuai kenyataan karena tak semua tampil jujur apa adanya, tetapi itulah peran yang ditunjukkan serta diinginkan. Peran sebagai artis, traveler, penyebar berita gosip, interpreneur, pembelajar, pendakwah, koki,  ibu rumah tangga  dan masih banyak lagi.  Alasan memilih peran, tidak ada orang lain yang benar-benar tahu, kecuali pemilik akun media sosial dan Allah tentunya,  Dan apapun peran yang dipilih rasanya gak bijak juga menilai berlebihan apalagi jika kita tidak mengetahui alasan dibalik peran yang dipilih.

Peran bisa berubah?
Iyalah.. bisa banget
Banyak film yang menggambarkan tokoh jahat di akhir adegan menjadi orang baik. Pun sebaliknya.
Memang kenyataannyay seperti itu.
Peran kadang mengikuti kondisi yang ada.  Peran yang dimaksud di sini gak terkotak pada pekerjaan atau status dalam keluarga atau status sosial yang memang sudah dimiliki ya..
Setiap orang bisa memiliki lebih dari satu peran.

Kalau saya sendiri ditanya, apakah peran saya selalu peran menjadi orang baik?
Hmmm rasanya gak juga ya
Harapan dan usahanya tentu bisa berperan dengan baik dalam setiap bentuk dan kondisi.
Tapi bisa jadi ternyata orang lain menangkapnya sebagai peran yang buruk.
Entah saya yang memang sadar buruk dalam berperan di saat itu atau saya merasa sudah berperan baik tetapi orang lain tidak merasakan kebaikan yang saya ingin sampaikan lewat peran tersebut.
Duh musti banyak istighfar yakk 😔
Dan memang yang seharusnya selalu menjadi pertanyaan adalah, bentuk peran yang pilih apakah sesuai dengan peran yang dikehendaki Allah?

Apakah Allah mengatur kita harus menjadi apa secara spesifik? Tentu tidak. 
Kebebasan memilih bentuk peran yang kita inginkan menunjukkan betapa Allah Maha Penyayang. Bisa dibilang belum pernah kita mendengar ada sanksi langsung jika salah memilih bentuk peran. Meski amat mungkin bagi Allah melakukan demikian. Allah memberikan waktu bagi kita untuk menimbang pilihan, belajar menjalani peran dan memperbaiki jika ada kesalahan. Kadang Allah memberikan rambu-rambu ketika kita salah arah, baik yang terlihat maupun yang samar (contohnya perasaan tidak nyaman saat menjalani bentuk peran yang salah).

Tak hanya sampai di situ, Allah pun memberikan bekal bagi kita untuk memilih dan menjalani peran berupa rasa suka, insting, kecerdasan (pengetahuan), ketangguhan dan kekuatan.
Peran baik yang dipilih tak selamanya menyenangkan meski kita pilih dengan rasa suka.
Di sinilah bekal ketangguhan bisa kita gunakan.
















Kamis, Maret 21, 2019

Nenek Hebat dari Saga


Suatu hari ada sesuatu yang tanpa ada alasan khusus ingin kuucapkan pada Nenek. "Nek, kita memang miskin sekarang, tapi suatu hari enak juga ya kalau bisa jadi kaya.  Tanpa diduga-duga beginilah jawaban Nenek. "Kau ini bicara apa? Ada dua jalan buat orang miskin.  Miskin muram dan miskin ceria.  Kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja kita miskin, kita tidak perlu cemas.  Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun temurun miskin. Pertama, jadi orang kaya itu susah. Selalu makan enak, berpelesir, hidupnya sibuk.  Dan karena selalu berpakaian bagus saat bepergian, bahkan saat jatuh pun, mereka harus tetap memperhatikan cara jatuh mereka.  Sedangkan orang miskin kan sejak awal selalu mengenakan pakaian kotor.   Entah itu saat hujan, saat harus duduk di tanah, mau jatuh, ya bebas, terserah saja.  Ahh, untung kita miskin."  Aku diam. Lalu, "Selamat tidur, Nek" ujarku tanpa tahu harus berkata apa lagi.

Kalimat yang saya baca dalam buku ini membuat saya tersenyum geli. Ah iya, selalu ada kebaikan pada setiap keadaan.  Tidak ada yang benar-benar buruk selagi cara kita menyikapi dan menetapkan sudut pandang tetap positif.

Menemukan buku ini di deretan buku-buku novel yang ada di toko buku besar yang kami kunjungi di saat mulai letih mencari buku novel non percintaan remaja, melegakan sekali. Sekarang semakin sulit menemukan novel yang membangun jiwa positif dengan bahasa yang mudah dimengerti dan disukai remaja. Buku-buku novel remaja dengan tulisan "New Arrival" atau "Best Seller" tak jauh dari jatuh cinta atau patah hati. "Boseeen begitu melulu.."keluh gendhuk. Entah berapa kali anak-anak pulang dari toko buku dengan tangan kosong.  Pertama kali melihat buku ini mereka pun kurang tertarik.  Baiklah, saya dulu yang membaca. Tak menunggu sampai di rumah, saya mulai menelusuri halaman demi halaman.

Buku karangan  Akihiro Tokunaga atau yang lebih dikenal dengan nama Yoshichi Shimada berjudul asli Saga no Gabai Baachan ini membawa ingatan saya melayang ke masa kecil sepeninggal Bapak dimana kondisi keuangan keluarga pun kurang baik. Kami harus cepat belajar menerima keadaan apa adanya dan berhemat. Mungkin karena kami nyaris tak pernah mendengar ibu mengeluh, kami pun melalui masa sulit dengan biasa saja sebagaimana anak-anak lain yang tak mengalami kesulitan ekonomi. Bedanya, bekal sekolah kami lebih sedikit 😀. Tak mengapa, itu bukan masalah besar, kami masih tetap bisa tertawa pada setiap hal lucu yang kami jumpai.

Bab pertama buku ini mengisahkan dorongan sang Ibu yang membuatnya masuk ke dalam kereta, yang membawanya ke Kampung Saga, tempat nenek Osano tinggal. Benar-benar mendorong, bukan kiasan.  Karena sang Ibu tahu Tokunaga kecil pasti tak ingin jauh darinya.  Sementara kehidupan di Hiroshima selepas bom atom semakin sulit. Ia ingin Tokunaga mendapatkan lingkungan dan pendidikan yang lebih baik di kampung halaman.  Bagi Tokunaga sendiri ini seperti mimpi buruk. "Aku jadi merasa bagai anak yang akan dijual ke suatu tempat" tulisnya (hal 31). Ditemani bibi Kisako ia pun diantar menemui Nenek.

Bab-bab berikutnya bercerita tentang babak kehidupan Akihiro Tokunaga bersama Nenek. Di hari pertama datang, Tokunaga langsung mendapat pelajaran bagaimana cara menyalakan api di tungku oven agar esok bisa memasak nasi sendiri karena Nenek harus berangkat pagi-pagi sekali untuk bekerja membersihkan kantor di Universitas Saga dan sekolah dasar serta menengah yang terafiliasi dengannya. Rumah Nenek sendiri digambarkan sebagai gubuk bobrok beratap jerami. Namun pemandangan di sekitar rumah Nenek sungguh indah. Di depan rumah terbentang sungai yang mengalir. Nenek menyebut sungai ini supermarket. Sebatang galah dibentangkan sedemikian rupa di permukaan sungai. Seringkali ranting atau batang pohon tersangkut di galah. Nenek menggunakannya untuk kayu bakar. "Selain sungai menjadi bersih, kita pun mendapatkan kayu bakar cuma-cuma.  Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.."ucap Nenek sambil tertawa keras"( hal 43). Tidak hanya ranting pohon yang tersangkut tetapi juga sayuran, buah-buahan, sampai sandal kayu.  Benda-benda ini terbawa air sungai yang berasal dari pasar di hulu.

Meski kehidupan kampung tidak mewah namun banyak kejadian yang menarik bagi Tokunaga.  Terutama jika dibandingkan dengan kehidupannya di Hiroshima dulu. Di Saga,  banyak makanan yang bisa dimakan tanpa harus membeli.  Ingin buah, tinggal petik di pohon. Ingin mainan pun tinggal membuat sendiri dari batang kayu yang bergeletakan di tanah. Semua gratis tanpa biaya.

Tokunaga sangat tertarik pada kegiatan olahraga. Suatu waktu ia ingin  mengikuti latihan Kendo. Namun setelah mengetahui  untuk bergabung dengan latihan tersebut membutuhkan uang, mendadak Nenek meminta Tokunaga membatalkannya. Di lain waktu Tokunaga ingin mengikuti latihan Judo.  Nenek meminta Tokunaga melupakannya karena latihan Judo pun tidak gratis.  Nenek malah mengusulkan Tokunaga untuk berlatih lari saja. Kata Nenek, "Tidak perlu peralatan dan tempat berlarinya juga gratis.  Lari saja." Tokunaga pun menerima saran Nenek. Ia berlatih lari sendirian setiap hari. Ternyata di kemudian hari latihan larinya ini membawa hasil memuaskan. Ia selalu menjadi pahlawan di festival olahraga. Namun yang menyedihkan hatinya, tak pernah satu kali pun ibunya datang melihatnya mengikuti lomba. Dan ada peristiwa aneh di setiap tahun di hari festival tersebut. Wali kelas Tokunaga menderita sakit perut! Dengan alasan sakit perut itulah mereka selalu meminta Tokunaga bertukar bekal.  Beberapa tahun kemudian Tokunaga baru diberitahu Nenek kalau wali-wali kelasnya sengaja berbuat demikian untuk menghibur Tokunaga. "Itulah kebaikan sejati" demikian penjelasan Nenek. Kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan (hal 92).

Lewat kisah-kisah kesederhanaan, Nenek Osano mengajarkan banyak sekali nilai dan prinsip kehidupan. Tidak hanya untuk Tokugana tetapi juga untuk kita yang menyimak ceritanya. Bahwa kehidupan baik atau buruk tidak ditentukan oleh uang yang kita miliki tetapi rasa yang kita ijinkan hadir : susah atau senang, bahagia atau sedih. Kaya, adanya di hati. Inilah nilai kaya yang sesungguhnya.

Tak perlu minder juga saat putaran roda kehidupan berada di bawah. Harga diri kita tak serta merta jatuh karena kemiskinan. Sang Pencipta pun tak menciptakan manusia dalam derajat yang berbeda-beda. Semua yang muda akan menua.  Kaya atau miskin, keduanya memiliki kebutuhan dasar yang sama seperti butuh makan dan minum. Apa pun keadaannya kita tetap masih bisa bahagia dan meraih mimpi. Asalkan mau bersyukur dan menikmati pemberianNya




Rabu, Maret 20, 2019

Saat Emak Bertemu Coding


Saya suka nguprek...
Suka banget!
Dari ngupreklah saya akhirnya bertemu dengan coding.
Mulai dari penasaran..
Kemudian guggling..
Yeayyy! berhasil mengubah tampilan blog sedikit lebih indah (yang sedikit aja udah bikin emak senang bukan kepalang, macam Archimedes teriak "Eureka!")
Kemudian nguprek, edit html lagi, hasilnya..
honooww kok blognya error ...??
Lalu...
bertambahlah alasan buat gak nulis di blog 🙈

Sampai suatu ketika mak Inne, teman baik di komunitas IP Depok, mengabarkan info pelatihan Coding Mum. Hwaaa maauuuuu.. kebayang bisa ngoding trus bisa bikin website sendiri, landing page sendiri, dan lain-lain serba sendiri.. berbinar deh ngebayanginnya.
Program pelatihan ini berlangsung selama 8 pekan, dan di pekan terakhir kami harus mempresentasikan template hasil coding yang dibuat sendiri.

Belajar di pelatihan Coding Mum jauh dari suasana sunyi senyap. Suasananya ala emak-emak banget deh! Kadang serius, di lain waktu penuh canda, dan tetap sambil ngemil dong.. 😋
Suara anak balita menangis atau tertawa berlarian juga sesekali menjadi backsound.  Beberapa dari kami memang membawa serta balitanya, karena tak memungkinkan untuk ditinggal. Agar anak-anak tak bosan, di sudut ruang tersedia mainan.
Alhamdulillah mentor dan para fasilitator sabar membersamai kami yang sebagian besar minim pengetahuan tentang coding (cerita lengkap belajar codingnya sendiri ada di label Jurnal ya..)
Dan tentang presentasi, jangan tanya, deg-degan Maaak 😰
Di hadapan teman sendiri saja sudah grogi, ini ditambah juri, mentor, dan wartawan pula.
Wajan manaaa wajan... wkwkwk biasa presentasi depan wajan di dapur.
Satu per satu bergiliran maju. Saya mendapat urutan di tengah-tengah. Jadi masih cukup waktu mempersiapkan diri.  Alhamdulillah presentasi perjalan lancar.  Template yang saya buat sederhana namun sudah mencakup header dengan logo, jumbotron, form, link, dan lain-lain.
Karena ala saya, tentu lebih mudah untuk mempresentasikannya.
Semakin bersyukur ternyata template yang saya buat mendapat apresiasi yang baik dari para juri.

Tak diduga 6 bulan setelah pelatihan saya mendapat undangan dari Bekraf untuk mewakili Depok hadir di Festival Bekraf Surabaya bersama 21 ibu wakil peserta Coding Mum dari kota-kota lain, sekaligus rapat koordinasi pembentukan Komunitas Coding Mum Indonesia.  Di awal pertemuan kami berkenalan dan saling bercerita tentang apa yang kami dapatkan dari pelatihan Coding Mum. Ternyata tidak semua dari kami memiliki latar belakang pendidikan berbasis teknologi. Tetapi benang merahnya sama : suka belajar.  Lalu apa hasil yang didapat dari belajar coding? salah seorang ibu bercerita pernah mendapat fee 40 juta dari suatu project lho! maa syaa Allah mata emak pun berbinar 😍 bukan semata karena mendengar fee yang "WOW" tapi ini menambah lagi bukti bahwa seorang ibu meski bekerja dari rumah pun tetap bisa mandiri finansial.

Everybody should learn how to program a computer, because it teaches you how to think (Steve Jobs)

Dulu, sebelum berkutat lebih lama dengan coding, saya kurang mengerti apa yang dimaksud oleh Steve Jobs. Sekarang saya bisa mengangguk, membenarkan perkataannya. Serupa dengan yang dikatakan oleh Mitchel Resnik, seorang profesor di MIT, berikut ini

When you learn through coding, [you're] coding to learn. You're learning it an meaningful context, and that the best way of learning things

Belajar coding ternyata tidak hanya tentang bagaimana memperoleh penghasilan tambahan tetapi juga mengajarkan kita untuk berpikir lebih baik dalam menghadapi suatu masalah atau tantangan.
Sebagai contoh, dibalik sebuah tampilan menarik sebuah web ada coding yang harus teliti dikerjakan. Kurang satu tanda saja, misalnya tanda tutup (>) maka web muncul tak sesuai harapan. Bagi pemula seperti saya hal ini cukup menguji kesabaran . Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami, dibutuhkan ketelitian menelusuri baris demi baris kode yang sudah dibuat.  Celakanya kadang tak hanya satu masalah yang dijumpai. Dikoreksi yang satu, masalah lain sudah menanti. Sampai suatu kali saya katakan ke mentor, ingin rasanya saya gunting saja lalu tempel di tempat yang dikehendaki. Saking merasa mengatur posisi tampilan web sedemikian merepotkan. Gemas!

Di keseharian masalah tentu selalu saja ada. Terkadang membuat kita pusing.  Namun terbiasa mengerjakan coding ternyata berdampak dalam menyelesaikan masalah. Secara refleks pikiran saya mengajak duduk lebih tenang dan mencoba mengurai satu demi satu peristiwa sehingga akhirnya menemukan sumber kerumitan. Tak selalu berhasil memang tapi terasa apa yang dilakukan saat coding membentuk pola pikir yang sama pada bidang lain.

Tidak cepat bereaksi secara verbal dan fisik juga merupakan dampak positif yang saya rasakan. Pernah melihat seorang progammer kesal karena belum menemukan kode yang tepat lalu membanting laptop/pcnya? Saya sih belum..hahahaha sayaang laptopnya 😜. Biasanya reaksi pertama adalah berpikir "Dimana ya salahnya?" lalu serius bahkan betah duduk berjam-jam berusaha menemukan kode yang tepat.


Coding, ternyata juga menyenangkan untuk dipelajari oleh anak-anak. Mereka bahkan lebih cepat menguasai materi. Rupanya karena sering melihat saya asyik nguprek coding, si ragil pun tertarik untuk belajar juga. "Bosen main hape" katanya. Tanpa saya suruh, ia mengambil sendiri diktat pelatihan Coding Mum, menyalakan laptop dan mulai menuliskan barisan kode html di sublime. Wajahnya terlihat senang saat tampilan web yang ia kerjakan berhasil sesuai keinginan. Keningnya mengernyit penasaran saat letak gambar ternyata tak jua di tengah halaman. Setelah terpecahkan ia pun berkomentar, "Ternyata seru juga ya ngoding, kayak main game!" Alhamdulillah ..

Ada cerita lucu dari teman sekamar saya, seorang Coding Mum dari Bandung. Penampilannya yang biasa saja sungguh menyamarkan kalau ia adalah seorang ibu yang jago membuat database website. Beberapa kali ia mengikuti pelatihan selalu dikira sedang mengantar anak atau malah pengajar. Pernah suatu ketika bersama tiga orang Coding Mum Bandung lainnya membuat janji bertemu di sebuah cafe di Bandung untuk membahas sebuah project. Katanya, "Anak-anak di rumah udah pada ngerti kalau saya bilang Mamah mau ngafe berarti mau ketemu temen, ngerjain tugas di cafe". Awalnya para anak muda yang sudah lebih ada di cafe menganggap mereka sekumpulan ibu biasa yang sedang bersantai di cafe. Tetapi saat diskusi tentang program yang dibuat semakin seru (sudah pasti agak sulit mengontrol volume suara) beberapa anak muda pun mulai mencuri-curi pandang. Hahahahaha mereka pasti gak percaya ada coding "div" ketemu "div" di obrolan emak-emak berwajah emak rumahan 😂

Berkaitan dengan coding, berapa kali saya ditanya, "Susah gak belajar Coding?"
Saya jawab "Mudah kok"
"Tapi kan saya bukan lulusan komputer.."
Jelas sekali terlihat ragu akan kemampuannya untuk mempelajari Coding.
"Sama kok Mak.. dulu saya juga kuliah jurusan Biologi. Yang diuprekin bakteri. Udah punya anak yang diuprekin malah html 😆 Mulai saja dan sabar nguprek, in syaa Allah bisa"

Emak Bertemu Coding?
Itu keren! 😘













Senin, Maret 18, 2019

Si Pencuri Mimpi


Pencuri Mimpi? Siapakah?
Hmmm tahukah pencuri mimpi tidak melulu orang lain? bahkan tidak melulu "siapakah?" tetapi juga bisa "apakah?"
Penasaran?
sambil pegang mimpimu baik-baik yaa 😊

Ketika mendengar kata "pencuri" kita langsung berpikir ia adalah seseorang yang mengambil barang yang dimiliki orang lain. Pencuri, dimana-mana selalu membuat kesal! Orang yang miliknya dicuri, tentu saja merasa rugi sehingga tak jarang marah dan mengumpat.  Kenyataannya yang dicuri pun tak selalu berupa barang fisik. Bisa juga berupa non fisik seperti perasaan 😟 bahkan juga mimpi 😲

Setiap diri memiliki mimpi. Entah itu berupa khayalan yang tak kan terwujud atau harapan yang bisa terwujud. Yang akan kita bahas di sini tentu saja mimpi yang berhubungan dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Apa jadinya jika mimpi kita dicuri? apalagi jalan membumikan mimpi ternyata tak semudah yang kita bayangkan. Kita mengira dalam waktu sekian bulan sudah bisa terwujud ternyata butuh waktu sekian tahun.  Modal yang semula diperkirakan cukup ternyata tidak. Kita pun mulai goyah.

Bagaimana jika pencurinya kita sendiri? marah jugakah?
Ya, disadari atau tidak bisa jadi mimpi kita tidak terwujud karena kita sendiri yang mencuri mimpi.
Pencuri-pencuri itu adalah
  1. Tak Percaya Diri. Mimpi kita adalah milik kita. Tentu kita sendirilah yang harus percaya pada mimpi. Percaya bahwa kita memiliki kemampuan yang sudah dianugerahkanNya untuk mewujudkan mimpi. Namun terkadang kepercayaan diri ini tergerus karena kita lebih mempercayai penilaian orang lain terhadap diri kita, dibandingkan penilaian dari diri kita sendiri, yang belum tentu benar. Misalnya orang lain mengatakan kita bodoh dalam akademik, tak mungkin menjadi orang sukses. Kita menerima begitu saja dilabeli bodoh.  Padahal untuk sukses tak hanya ditentukan oleh kecerdasan akademik. Ada beragam kecerdasan lain yang juga bisa membawa pada pintu kesuksesan, 
  2. Malas. Masih ingat tulisan saya Menang Tanpa Usaha? tidak ada kemenangan yang benar-benar murni tanpa usaha. Tetap saja membutuhkan usaha, entah dari diri kita sendiri atau dibantu orang lain, Bahkan orang yang menang undian sekian juta pun butuh usaha, minimal untuk membeli kupon. Saya jadi teringat cerita si Kabayan yang sering digambarkan sebagai orang yang malas berusaha. Dalam suatu lirik lagu Nyi Iteung, istri Kabayan, meminta Kabayan lebih rajin bekerja. Kabayan menjawab, "Nyi Iteung, Akang mah rajin, kalau tidur rajin mimpi" kalau saya menjadi Nyi Iteung sepertinya bakal berada dalam posisi antara tanduk mendadak muncul 😈 dan ketawa geli mendengarnya 😂
  3. Lebih banyak berangan-angan. Wright bersaudara (Orville dan Wilbur) adalah dua orang Amerika penemu pesawat terbang yang pertama kali bisa diterbangkan dan dikendalikan oleh manusia, pada tahun 1903.  Mainan helikopter yang dibelikan oleh ayah, terbuat dari bambu dan karet, menjadi sumber bagi ketertarikan mereka terhadap mesin yang bisa terbang. Belasan abad sebelumnya, tepatnya awal abad ke-9, seorang ilmuwan muslim bernama Ibn Firnas yang berhasil terbang menggunakan glider, alat terbang sederhana yang dilengkapi sayap. Ketertarikannya pada aeronautika bermula saat ia menyaksikan atraksi pria pemberani bernama Armen Firman yang terjun dari ketinggian namun tidak berhasil (selengkapnya ada di artikel Serambi News ini ya).  Bayangkan apa yang terjadi jika Wright bersaudara dan Ibn Firnas hanya tertarik lalu berhenti pada angan-angan panjang bisa terbang di angkasa tanpa mengusahakan rasa ingin tahunya terwujud? Demikian juga mimpi kita yang berawal dari rasa ingin yang besar. Agar terwujud dibutuhkan usaha yang besar, bukan angan-angannya yang besar. 
  4. Mudah menyalahkan orang lain. Meski mimpi milik sendiri, tetapi dalam mewujudkannya kita dikelilingi oleh orang-orang yang dengan senang hati memberikan bantuan. Jika kita tidak bijak dalam menyikapi bantuan, bisa jadi mimpi kita menjadi milik orang lain. Di lain sisi, kita pun dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki mimpi yang sama dan siap berkompetisi dalam menggapainya. Namun sesungguhnya semua orang memiliki peluang keberhasilan dan kegagalan yang sama. Oleh karena itu tidak bisa kita hanya menuding orang lain atas kegagalan yang kita dapatkan karena pasti ada usaha dari kita yang mempengaruhinya. 
  5. Terlalu menggenggam erat mimpi. Hmm.. bukankah mimpi harus digenggam agar tak hilang? Yup! benar sekali.  Mimpi yang akan diwujudkan itu ibarat target sebuah papan panah. Mimpi adalah panah itu sendiri. Busur yang kita tarik mengibaratkan usaha.  Jika kita hanya mencekram erat mata panah tanpa melepasnya dari busur maka ia tidak akan pernah mencapai target. Demikian juga mimpi. Jika hanya kita genggam erat tanpa diiringi dengan usaha, ia tidak akan pernah terwujud. Bagaimana jika sudah dilepas tetapi tidak mencapai sasaran? Di sinilah kita menempatkan tawakal, menyerahkan hasil kepada Allah SWT semata. Yakinlah Allah selalu memberikan hasil yang terbaik.

Jangan biarkan mimpi tercuri ya?
Jagalah bahkan dari diri sendiri.
karena mimpi yang kita miliki begitu spesial dan berharga 💝



Sabtu, Maret 16, 2019

Menang Tanpa Usaha


Si ragil sedang bersiap berangkat ke sekolah di hari Minggu itu.
Ada seleksi yang diselenggarakan serentak untuk menjadi wakil sekolah masing-masing ke Olimpiade Sekolah Nasional. Satu bidang pelajaran hanya dipilih satu orang. Si ragil terpilih bersama satu orang teman lainnya mengikuti seleksi bidang matematika. Di antara mereka berdua hanya akan ada 1 orang saja yang mewakili sekolah.

"Udah siap Dek?"tanya saya.  
"Auk dah.."jawabnya sambil memakai kaos kaki. 
"Eeeh kok Auk?"tanya saya 
"Aku sih udah belajar .. tapi auk dah.."
"Emang kenapa Dek?"
"Aku gak gitu apal rumus, kalo temenku itu apal rumus. Kursus juga"
"Tapi kan Adek pinter logika.." timpal saya menyemangati
"Menang tanpa usaha..pake logika aja"katanya sambil tertawa

Tentu saja si ragil paham usaha itu penting. Hal yang seringkali saya ucapkan berulang-ulang kepada anak-anak, bukan hasil yang paling utama tetapi usaha. Sesuai keinginan atau tidak, yang kita dapatkan selalu ketetapan Allah yang terbaik. Karena hal ini juga saya belajar untuk tidak bereaksi marah saat anak-anak pulang sekolah dan bilang "kayaknya ulangan aku hasilnya jelek deh.." atau marah karena "Bu.. ranking aku turun..". Yang saya tanyakan pasti "udah usaha belajar belum? kalau udah ya gapapa". Lain hal kalau anak-anak tidak usaha/belajar, sudah pasti bawel saya kambuh (ups!)

Suatu hari pernah seorang teman dengan ceria menunjukkan sebuah hasta karya, tugas sekolah anaknya.
"Wow kereeeen!" begitu reaksi pertama saya saat melihatnya.
"Pinter banget ih udah bisa bikin kayak gini".
Lalu dengan santai teman saya menjawab "Itu aku yang bikin..abisnya kasian dia bikin lama banget gak jadi-jadi. Sekalinya jadi gak bagus. Daripada dimarahin gurunya mending dibantuin deh"
"Oooo.." batal deh kagumnya.
Dengan hati-hati saya tanyakan kepadanya "Kenapa dibantuin?"
"Ya karena sayanglah" jawabnya lugas.
Tidak sekali dua kali saya menjumpai kejadian seperti ini, orangtua yang rajin mengerjakan tugas sekolah anak. Tampak raut wajah bangga dan senang melihat tugas sekolah anaknya selesai dengan memuaskan.  Terbayang senyum di wajah sang anak kala menyerahkan tugas tersebut kepada guru.
Sungguh saya mengerti rasa cinta, sikap melindungi dan rela berkorban yang dimiliki orangtua untuk anak-anaknya. Tetapi bentuk cinta orangtua yang tidak pada tempatnya justru akan merusak anak.

Mengapa saya katakan demikian?
  • Dengan mengerjakan tugas anak sesungguhnya kita sedang menunjukkan pada anak secara tidak langsung bahwa kita tidak mempercayai kemampuan anak kita sendiri. Bukankah kita ingin anak kita adalah anak yang mampu menghadapi tantangan jaman? Bagaimana bisa menghadapi tantangan jika ia tak yakin memiliki kemampuan? sementara orangtuanya sendiri tidak percaya.
  • Memupuk sikap bergantung pada anak. Tak selamanya kita sebagai orangtua ada di samping anak saat ia membutuhkan. Tubuh orangtua pun menua. Justru di saat itu keadaan bisa terbalik, orangtualah yang membutuhkan anak. Dan anak-anak yang terbiasa menggantungkan kebaikan pada orang lain besar kemungkinan sulit menjalani kehidupan apalagi memberi bantuan. Manja, demikian biasa disebut. Sikap yang terlahir dari pola asuh.
  • Mengajarkan sikap tidak bertanggung jawab. Tugas anak adalah tanggung jawab anak. Mendorongnya mengerjakan tugas dengan baik merupakan bentuk dukungan orangtua. Setiap tugas memiliki konsekuensi. Oleh karena itu wajar pula jika ternyata tugas tidak dikerjakan mendapatkan konsekuensi negatif seperti dimarahi guru, mendapat tugas tambahan, dan lain-lain. Dengan belajar konsekuensi, selain menguatkan sikap bertanggung jawab, jiwa ketangguhan anak pun terasah.
  • Memupus rasa bangga anak akan hasil kerja sendiri. Siapa lagi yang akan lebih menghargai dan merasa bangga suatu hasil karya jika bukan pembuatnya? Rasa bangga menjadi motivasi untuk menghasilkan karya-karya berikutnya. Kalau tugas yang mengerjakan orangtua, maka rasa bangga menjadi milik orangtua, bukan anak.
  • Menyuburkan sikap berbohong. Melihat hasil karya yang dikerjakan di rumah bagus, tentu guru akan bertanya, siapa yang mengerjakan? Jika berani jujur anak akan mengerjakan orangtua yang lebih banyak mengerjakan.  Tetapi jika ia takut, akan menjawab dirinya sendiri. Padahal setiap orangtua seringkali meminta anaknya berkata jujur bukan?
Lain waktu anak-anak bercerita tentang teman-temannya yang mencontek saat ulangan.
Betapa mereka pun melihatnya gemas.
Ditambah pengawas ujian sepertinya kurang peduli dengan kejujuran.
Saya katakan, "Hasil tetap Allah yang tetapkan. Kalau nilai mereka bagus, maka itulah ketetapan Allah.  Gak usah kita iri. Nilai bagus, bisa jadi cobaan buat mereka. Mau terus berbuat salah atau gak? Kalau pilih terus berbuat salah, mereka sebenernya rugi. Gak nambah ilmu selain ilmu mencontek. Lagian percaya deh, beda banget rasanya nilai bagus karena usaha sendiri dengan nilai bagus karena mencontek"
"Ah gak selalu juga nilai mereka bagus" timpal si ragil.
"Hahahaha iya ya Dek, sibuk nyontek trus nyonteknya salah waktunya habis"😝

Dan saat pembagian rapor ternyata alhamdulillah ranking mereka lebih tinggi daripada yang mencontek. Iseng, saya tanyakan kembali, "Gimana rasanya ranking bagus tanpa nyontek, seneng?" mereka pun menjawab dengan bangga "Iya!"

Menanamkan nilai pada sebuah kemenangan adalah tugas orangtua.
Menang tanpa usaha, bisa jadi sebuah keberuntungan.
Menang karena usaha yang sungguh-sungguh adalah kemenangan yang membanggakan.













Senin, Maret 11, 2019

Tulis Sajalah


Sejujurnya bingung mau menulis judul apa ya?? Meski ada beberapa kelebatan ide judul yang ingin saya tulis. Tetap rasanya kurang sreg. Ini bedanya menulis blog dengan status facebook, instagram, atau twitter ya.. yang tinggal tulis "what is in your mind?" tetiba lancar deh jemari emak menulis segenap rasa serta pikiran.. curhat colongan pun dimulai. Sependek yang saya ingat memang dalam beberapa buku dan pelatihan menulis yang saya ikuti, narasumber menyatakan hal senada, mulailah dengan menuliskan pengalaman yang berkesan. Gak usah dipikirin kalimat harus sesuai susunan baku bahasa Indonesia yang benar. Lancar dulu menulis, terbiasa, baru perlahan mulai dibenahi.

Kebingungan saya dalam menulis judul membawa saya membuka-buka lagi buku tentang menulis. Ada beberapa buku tentang menulis di rumah. Pilihan saya tertuju pada buku Pak Hernowo, Mengikat Makna Update : Membaca dan Menulis yang Memberdayakan. Tak sengaja buku ini terbuka tepat di halaman yang bertuliskan :
... saya hanya ingin memberikan satu peluang besar agar siapa saja yang ingin menulis, pertama-tama mendapatkan manfaat-langsung dan nyata dari kegiatan  menulisnya.  Apa manfaat itu? Manfaat menulis yang ingin saya bagikan lewat buku ini adalah manfaat menulis untuk sebuah upaya memperbaiki diri.  Menulis boleh apa saja dan untuk siapa saja, tetapi menulislah untuk mendapatkan manfaat langsung dan konkret bagi diri sendiri terlebih dulu
Tulisan yang mengajak saya bertanya kembali pada diri sendiri untuk apa saya menulis?  Sebelum saya bisa membagikan manfaatnya kepada orang lain seperti yang selama ini saya inginkan tentu diri saya sendiri harus bisa merasakan manfaatnya terlebih dahulu. Ibarat tanaman obat, bagaimana mungkin saya bisa mengajak orang lain menggunakannya sebagai alternatif pengobatan jika saya sendiri tidak pernah merasakan langsung. Saya pasti hanya bisa bilang "katanya" tanpa meyakini benar (kecuali ada kerabat/teman dekat yang sudah mencoba dan berhasil menyembuhkan sakitnya).

Saya pun mulai mengingat-ingat kembali kapan saat saya rutin menulis untuk diri saya sendiri. Ah iya masa smp-kuliah. Berarti sekian puluh tahun yang lalu?  maa syaa Allah..di jaman banyak gadis seusia saya gemar menulis "dear diary..", termasuk saya. Tetapi saya lebih sering menulisnya tidak di sebuah buku, karena khawatir ada yang membaca 🙈.  Isi hati saya tuliskan di lembaran kertas, kemudian setelah selesai saya hapus dan buang. Bukan tidak pernah memiliki buku diary. Beberapa kali malah membeli buku diary yang ada gemboknya. Saking hati-hati gemboknya sering hilang 😅. Haduuh padahal baru ditulis sedikit. Ya sudahlah pakai kertas biasa saja, yang penting apa yang mengganjal di hati dan pikiran sudah tersalurkan. Meski akhirnya tak bisa dibaca ulang. Belakangan saya baru tahu dari seorang terapis bahwa tehnik menulis untuk menyalurkan uneg-uneg di selembar kertas juga bisa digunakan sebagai terapi mengurangi efek inner child. Hanya saja menulisnya menggunakan pulpen (tidak dihapus seperti yang saya lakukan) dan setelahnya dibakar, dengan alasan yang sama agar tak dibaca lagi.

Seingat saya setelahnya memang ada masa di mana saya rutin lagi menulis namun lebih dalam bentuk quote atau status facebook. Tetapi biasanya jika sedang ada kegiatan lain atau ada yang sedang saya fokuskan bisa berbulan-bulan facebook saya sepi tanpa postingan. Dan buat saya menulis di facebook, yang merupakan ranah publik, tak sebebas menulis di kertas. Ada beberapa pertimbangan sebelum akhirnya membuat sebuah postingan status. Sebagaimana saya tidak suka membaca status negatif (yang isinya mengeluh, mengumpat, meledek, dan lain-lain) dari orang lain yang tampil di beranda,  saya pun tak mau orang lain membaca status negatif dari saya meski saya misalnya sedang amat kesal akan sesuatu hal dan butuh tulisan pelampiasan. Alasannya sederhana, tak ingin terbawa dan membawa negatif ke sekitar.

Menulis merupakan salah satu cara untuk menemukan pemecahan masalah. Setuju sekali! Tidak semua masalah harus dibicarakan dengan orang lain.  Saya berpikir memecahkan masalah sendiri akan membantu saya tumbuh lebih dewasa dan bijak. Bukankah suatu waktu mungkin saya pun akan menjadi pendengar dan membantu orang lain memecahkan masalah? bagaimana jika saya tak pernah mengijinkan diri saya menemukan solusi? Nyatanya menulis dan membacanya perlahan membuat saya lebih bisa melihat sumber masalah dengan jernih. Sehingga biasanya di akhir saya malah menemukan apa yang harus saya lakukan lalu saya pun mendapatkan penguat dari diri sendiri.

Instropeksi diri dan lebih bisa memilih reaksi positif adalah beberapa dari sekian banyak manfaat yang saya rasakan dari menulis.  Apakah ini juga karena rata-rata 20.000 kata yang dikeluarkan pun turut tersalurkan? bisa jadi. Sebagian sudah disalurkan lewat tulisan sehingga secara lisan berkurang.  Ternyata perempuan lebih cerewet pun karena memang secara alami sudah diciptakan demikian lho.. Sebuah artikel di liputan6.com  menuliskan para ilmuwan telah menemukan penyebab wanita cerewet itu akibat protein Foxp2 dalam otak perempuan lebih tinggi kadarnya daripada dalam otak pria. Protein Foxp2 sendiri merupakan protein bahasa.

Ummm.. ngomong-ngomong sudah berapa kata yang saya tulis ya?
Jadi sebaiknya diberi judul apa?
.....
.....
.....
Tulis sajalah
















Senin, Maret 04, 2019

Debat


Musim debat. Sepertinya mengalahkan musim durian dan buah-buahan lainnya 😅. Menjelang pemilihan umum makin banyak saja program debat yang ditayangkan. Hampir semua stasiun televisi. Bahkan ada satu program yang durasi debatnya nyaris 3 jam! Maa syaa Allah, saya yang menonton di rumah saja puyeng 😵 apalagi yang hadir.  Eh mungkin berbeda ya, lebih betah menyimak kalau hadir langsung di acara tersebut. Bisa jadi saya puyeng karena kurang paham dengan topik yang dibahas.. qiqiiqiq entahlah.. yang jelas kalau panelis debat sudah mulai ada yang nyinyir atau ngeyel, saling sindir, marah-marah..daripada terbawa emosi lebih baik saya mengerjakan yang lain. Kesehatan emosi emak jauh lebih penting 😂

Gak suka berlama-lama bukan berarti saya tidak setuju 100% adanya debat. Tergantung debatnya deh.. oke, asal tujuan dan caranya baik. Orang lain tidak harus memiliki pendapat yang sama dengan kita. Pun sebaliknya. Pendapat yang disampaikan dengan kalimat yang santun, berisi (tidak asal bicara) dan dapat dipertanggungjawabkan pasti akan membuat kita yang menyimak semakin kaya pemikiran juga.

Sebenarnya pengertian debat itu apa sih?

Debat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Debat menurut Wikipedia  merupakan kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan maupun kelompok dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan.

Bicara soal santun, terus terang miris melihat pendebat yang seperti mengenyampingkan adab, tak menghormati lawan bicara. Entah menguap kemana yang disebut-sebut norma ketimuran atau norma agama. Disadari atau tidak, apa yang dilakukannya sudah memberikan contoh yang buruk pada sekian juta penonton televisi yang menyaksikannya. Semakin bersikeras, semakin menunjukkan keburukannya sendiri. Keberkahan ilmu yang ingin didapatkan pun berkurang karena yang ada di pikiran hanyalah menang dan merasa paling benar.
Jangan salahkan generasi muda pun melakukan debat dengan cara yang sama. Bahkan tak jarang berlanjut dengan tawuran.

Di rumah saya sering mengajak anak-anak berdiskusi tentang apa yang mereka tonton dan cukup bawel mengingatkan efek dari tontonan negatif yang dilihat berulang-ulang dapat masuk ke dalam alam bawah sadar dan menjelma menjadi perilaku.






Minggu, Maret 03, 2019

Ketika Berbagi Menjadi Kebutuhan

sharing, berbagi

Selepas wisuda seleh sebagai koordinator kota seorang teman bertanya,
"Mak Far abis ini mau ngapain?"
Saya jawab "Ngerjain banyak hal Mak" 😊
"Coding Mum?" (karena ia tahu saya belum lama ini bergabung dalam Komunitas Coding Mum Indonesia)
"Ya termasuk juga itu"
Berbagi manfaat tidak berhenti hanya karena seleh (selesai) pada satu urusan. Karena berbagi untuk saya adalah suatu kebutuhan, in syaa Allah saya akan terus berusaha mencari cara agar bisa berbagi. Hal yang sama saya pikir juga berlaku bagi orang lain. Meski dengan alasan dan bentuk yang mungkin berbeda.

Sabtu, Maret 02, 2019

Kontributor Buku

Menjadi kontributor sebuah buku? sejujurnya ini menjadi hal yang diinginkan tetapi tak terbayangkan dapat terwujud. Hingga hanya satu kalimat syukur yang menggambarkan semua rasa "Alhamdulillahirobbil'alaamiin.."
Allah Maha Baik memberikan saya kesempatan berbagi lebih luas lagi lewat sebuah buku.

Iya, sedari dahulu saya ingin memiliki sebuah karya berupa buku. Betapa kagumnya saya pada para penulis yang begitu lincah merangkaikan kata demi kata, sehingga membacanya pun emosi menjadi berirama, imajinasi bermain dengan gembira, pikiran tercerahkan, hanya lewat penyampaian sederhana namun memiliki efek luar biasa bagi yang membaca . Setiap selesai membaca karyanya, menyisakan banyak tekad menjadi lebih baik. Terbayang ya betapa banyak amal sholih yang mereka tabung.. maa syaa Allah sukses membuat iri!