Ada seleksi yang diselenggarakan serentak untuk menjadi wakil sekolah masing-masing ke Olimpiade Sekolah Nasional. Satu bidang pelajaran hanya dipilih satu orang. Si ragil terpilih bersama satu orang teman lainnya mengikuti seleksi bidang matematika. Di antara mereka berdua hanya akan ada 1 orang saja yang mewakili sekolah.
"Udah siap Dek?"tanya saya.
"Auk dah.."jawabnya sambil memakai kaos kaki.
"Eeeh kok Auk?"tanya saya
"Aku sih udah belajar .. tapi auk dah.."
"Emang kenapa Dek?"
"Aku gak gitu apal rumus, kalo temenku itu apal rumus. Kursus juga"
"Tapi kan Adek pinter logika.." timpal saya menyemangati
"Menang tanpa usaha..pake logika aja"katanya sambil tertawa
Tentu saja si ragil paham usaha itu penting. Hal yang seringkali saya ucapkan berulang-ulang kepada anak-anak, bukan hasil yang paling utama tetapi usaha. Sesuai keinginan atau tidak, yang kita dapatkan selalu ketetapan Allah yang terbaik. Karena hal ini juga saya belajar untuk tidak bereaksi marah saat anak-anak pulang sekolah dan bilang "kayaknya ulangan aku hasilnya jelek deh.." atau marah karena "Bu.. ranking aku turun..". Yang saya tanyakan pasti "udah usaha belajar belum? kalau udah ya gapapa". Lain hal kalau anak-anak tidak usaha/belajar, sudah pasti bawel saya kambuh (ups!)
Suatu hari pernah seorang teman dengan ceria menunjukkan sebuah hasta karya, tugas sekolah anaknya.
"Wow kereeeen!" begitu reaksi pertama saya saat melihatnya.
"Pinter banget ih udah bisa bikin kayak gini".
Lalu dengan santai teman saya menjawab "Itu aku yang bikin..abisnya kasian dia bikin lama banget gak jadi-jadi. Sekalinya jadi gak bagus. Daripada dimarahin gurunya mending dibantuin deh"
"Oooo.." batal deh kagumnya.
Dengan hati-hati saya tanyakan kepadanya "Kenapa dibantuin?"
"Ya karena sayanglah" jawabnya lugas.
Tidak sekali dua kali saya menjumpai kejadian seperti ini, orangtua yang rajin mengerjakan tugas sekolah anak. Tampak raut wajah bangga dan senang melihat tugas sekolah anaknya selesai dengan memuaskan. Terbayang senyum di wajah sang anak kala menyerahkan tugas tersebut kepada guru.
Sungguh saya mengerti rasa cinta, sikap melindungi dan rela berkorban yang dimiliki orangtua untuk anak-anaknya. Tetapi bentuk cinta orangtua yang tidak pada tempatnya justru akan merusak anak.
Mengapa saya katakan demikian?
"Aku gak gitu apal rumus, kalo temenku itu apal rumus. Kursus juga"
"Tapi kan Adek pinter logika.." timpal saya menyemangati
"Menang tanpa usaha..pake logika aja"katanya sambil tertawa
Tentu saja si ragil paham usaha itu penting. Hal yang seringkali saya ucapkan berulang-ulang kepada anak-anak, bukan hasil yang paling utama tetapi usaha. Sesuai keinginan atau tidak, yang kita dapatkan selalu ketetapan Allah yang terbaik. Karena hal ini juga saya belajar untuk tidak bereaksi marah saat anak-anak pulang sekolah dan bilang "kayaknya ulangan aku hasilnya jelek deh.." atau marah karena "Bu.. ranking aku turun..". Yang saya tanyakan pasti "udah usaha belajar belum? kalau udah ya gapapa". Lain hal kalau anak-anak tidak usaha/belajar, sudah pasti bawel saya kambuh (ups!)
Suatu hari pernah seorang teman dengan ceria menunjukkan sebuah hasta karya, tugas sekolah anaknya.
"Wow kereeeen!" begitu reaksi pertama saya saat melihatnya.
"Pinter banget ih udah bisa bikin kayak gini".
Lalu dengan santai teman saya menjawab "Itu aku yang bikin..abisnya kasian dia bikin lama banget gak jadi-jadi. Sekalinya jadi gak bagus. Daripada dimarahin gurunya mending dibantuin deh"
"Oooo.." batal deh kagumnya.
Dengan hati-hati saya tanyakan kepadanya "Kenapa dibantuin?"
"Ya karena sayanglah" jawabnya lugas.
Tidak sekali dua kali saya menjumpai kejadian seperti ini, orangtua yang rajin mengerjakan tugas sekolah anak. Tampak raut wajah bangga dan senang melihat tugas sekolah anaknya selesai dengan memuaskan. Terbayang senyum di wajah sang anak kala menyerahkan tugas tersebut kepada guru.
Sungguh saya mengerti rasa cinta, sikap melindungi dan rela berkorban yang dimiliki orangtua untuk anak-anaknya. Tetapi bentuk cinta orangtua yang tidak pada tempatnya justru akan merusak anak.
Mengapa saya katakan demikian?
- Dengan mengerjakan tugas anak sesungguhnya kita sedang menunjukkan pada anak secara tidak langsung bahwa kita tidak mempercayai kemampuan anak kita sendiri. Bukankah kita ingin anak kita adalah anak yang mampu menghadapi tantangan jaman? Bagaimana bisa menghadapi tantangan jika ia tak yakin memiliki kemampuan? sementara orangtuanya sendiri tidak percaya.
- Memupuk sikap bergantung pada anak. Tak selamanya kita sebagai orangtua ada di samping anak saat ia membutuhkan. Tubuh orangtua pun menua. Justru di saat itu keadaan bisa terbalik, orangtualah yang membutuhkan anak. Dan anak-anak yang terbiasa menggantungkan kebaikan pada orang lain besar kemungkinan sulit menjalani kehidupan apalagi memberi bantuan. Manja, demikian biasa disebut. Sikap yang terlahir dari pola asuh.
- Mengajarkan sikap tidak bertanggung jawab. Tugas anak adalah tanggung jawab anak. Mendorongnya mengerjakan tugas dengan baik merupakan bentuk dukungan orangtua. Setiap tugas memiliki konsekuensi. Oleh karena itu wajar pula jika ternyata tugas tidak dikerjakan mendapatkan konsekuensi negatif seperti dimarahi guru, mendapat tugas tambahan, dan lain-lain. Dengan belajar konsekuensi, selain menguatkan sikap bertanggung jawab, jiwa ketangguhan anak pun terasah.
- Memupus rasa bangga anak akan hasil kerja sendiri. Siapa lagi yang akan lebih menghargai dan merasa bangga suatu hasil karya jika bukan pembuatnya? Rasa bangga menjadi motivasi untuk menghasilkan karya-karya berikutnya. Kalau tugas yang mengerjakan orangtua, maka rasa bangga menjadi milik orangtua, bukan anak.
- Menyuburkan sikap berbohong. Melihat hasil karya yang dikerjakan di rumah bagus, tentu guru akan bertanya, siapa yang mengerjakan? Jika berani jujur anak akan mengerjakan orangtua yang lebih banyak mengerjakan. Tetapi jika ia takut, akan menjawab dirinya sendiri. Padahal setiap orangtua seringkali meminta anaknya berkata jujur bukan?
Lain waktu anak-anak bercerita tentang teman-temannya yang mencontek saat ulangan.
Betapa mereka pun melihatnya gemas.
Ditambah pengawas ujian sepertinya kurang peduli dengan kejujuran.
Saya katakan, "Hasil tetap Allah yang tetapkan. Kalau nilai mereka bagus, maka itulah ketetapan Allah. Gak usah kita iri. Nilai bagus, bisa jadi cobaan buat mereka. Mau terus berbuat salah atau gak? Kalau pilih terus berbuat salah, mereka sebenernya rugi. Gak nambah ilmu selain ilmu mencontek. Lagian percaya deh, beda banget rasanya nilai bagus karena usaha sendiri dengan nilai bagus karena mencontek"
"Ah gak selalu juga nilai mereka bagus" timpal si ragil.
"Hahahaha iya ya Dek, sibuk nyontek trus nyonteknya salah waktunya habis"😝
Dan saat pembagian rapor ternyata alhamdulillah ranking mereka lebih tinggi daripada yang mencontek. Iseng, saya tanyakan kembali, "Gimana rasanya ranking bagus tanpa nyontek, seneng?" mereka pun menjawab dengan bangga "Iya!"
Dan saat pembagian rapor ternyata alhamdulillah ranking mereka lebih tinggi daripada yang mencontek. Iseng, saya tanyakan kembali, "Gimana rasanya ranking bagus tanpa nyontek, seneng?" mereka pun menjawab dengan bangga "Iya!"
Menanamkan nilai pada sebuah kemenangan adalah tugas orangtua.
Menang tanpa usaha, bisa jadi sebuah keberuntungan.
Menang karena usaha yang sungguh-sungguh adalah kemenangan yang membanggakan.
0 Comments:
Posting Komentar
Haiii.. tanpa mengurangi keakraban, silahkan berkomentar dengan baik dan sopan yaa.. Komentar bersifat spam tidak akan dipublikasi