Kamis, Maret 21, 2019

Nenek Hebat dari Saga


Suatu hari ada sesuatu yang tanpa ada alasan khusus ingin kuucapkan pada Nenek. "Nek, kita memang miskin sekarang, tapi suatu hari enak juga ya kalau bisa jadi kaya.  Tanpa diduga-duga beginilah jawaban Nenek. "Kau ini bicara apa? Ada dua jalan buat orang miskin.  Miskin muram dan miskin ceria.  Kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja kita miskin, kita tidak perlu cemas.  Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun temurun miskin. Pertama, jadi orang kaya itu susah. Selalu makan enak, berpelesir, hidupnya sibuk.  Dan karena selalu berpakaian bagus saat bepergian, bahkan saat jatuh pun, mereka harus tetap memperhatikan cara jatuh mereka.  Sedangkan orang miskin kan sejak awal selalu mengenakan pakaian kotor.   Entah itu saat hujan, saat harus duduk di tanah, mau jatuh, ya bebas, terserah saja.  Ahh, untung kita miskin."  Aku diam. Lalu, "Selamat tidur, Nek" ujarku tanpa tahu harus berkata apa lagi.

Kalimat yang saya baca dalam buku ini membuat saya tersenyum geli. Ah iya, selalu ada kebaikan pada setiap keadaan.  Tidak ada yang benar-benar buruk selagi cara kita menyikapi dan menetapkan sudut pandang tetap positif.

Menemukan buku ini di deretan buku-buku novel yang ada di toko buku besar yang kami kunjungi di saat mulai letih mencari buku novel non percintaan remaja, melegakan sekali. Sekarang semakin sulit menemukan novel yang membangun jiwa positif dengan bahasa yang mudah dimengerti dan disukai remaja. Buku-buku novel remaja dengan tulisan "New Arrival" atau "Best Seller" tak jauh dari jatuh cinta atau patah hati. "Boseeen begitu melulu.."keluh gendhuk. Entah berapa kali anak-anak pulang dari toko buku dengan tangan kosong.  Pertama kali melihat buku ini mereka pun kurang tertarik.  Baiklah, saya dulu yang membaca. Tak menunggu sampai di rumah, saya mulai menelusuri halaman demi halaman.

Buku karangan  Akihiro Tokunaga atau yang lebih dikenal dengan nama Yoshichi Shimada berjudul asli Saga no Gabai Baachan ini membawa ingatan saya melayang ke masa kecil sepeninggal Bapak dimana kondisi keuangan keluarga pun kurang baik. Kami harus cepat belajar menerima keadaan apa adanya dan berhemat. Mungkin karena kami nyaris tak pernah mendengar ibu mengeluh, kami pun melalui masa sulit dengan biasa saja sebagaimana anak-anak lain yang tak mengalami kesulitan ekonomi. Bedanya, bekal sekolah kami lebih sedikit 😀. Tak mengapa, itu bukan masalah besar, kami masih tetap bisa tertawa pada setiap hal lucu yang kami jumpai.

Bab pertama buku ini mengisahkan dorongan sang Ibu yang membuatnya masuk ke dalam kereta, yang membawanya ke Kampung Saga, tempat nenek Osano tinggal. Benar-benar mendorong, bukan kiasan.  Karena sang Ibu tahu Tokunaga kecil pasti tak ingin jauh darinya.  Sementara kehidupan di Hiroshima selepas bom atom semakin sulit. Ia ingin Tokunaga mendapatkan lingkungan dan pendidikan yang lebih baik di kampung halaman.  Bagi Tokunaga sendiri ini seperti mimpi buruk. "Aku jadi merasa bagai anak yang akan dijual ke suatu tempat" tulisnya (hal 31). Ditemani bibi Kisako ia pun diantar menemui Nenek.

Bab-bab berikutnya bercerita tentang babak kehidupan Akihiro Tokunaga bersama Nenek. Di hari pertama datang, Tokunaga langsung mendapat pelajaran bagaimana cara menyalakan api di tungku oven agar esok bisa memasak nasi sendiri karena Nenek harus berangkat pagi-pagi sekali untuk bekerja membersihkan kantor di Universitas Saga dan sekolah dasar serta menengah yang terafiliasi dengannya. Rumah Nenek sendiri digambarkan sebagai gubuk bobrok beratap jerami. Namun pemandangan di sekitar rumah Nenek sungguh indah. Di depan rumah terbentang sungai yang mengalir. Nenek menyebut sungai ini supermarket. Sebatang galah dibentangkan sedemikian rupa di permukaan sungai. Seringkali ranting atau batang pohon tersangkut di galah. Nenek menggunakannya untuk kayu bakar. "Selain sungai menjadi bersih, kita pun mendapatkan kayu bakar cuma-cuma.  Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.."ucap Nenek sambil tertawa keras"( hal 43). Tidak hanya ranting pohon yang tersangkut tetapi juga sayuran, buah-buahan, sampai sandal kayu.  Benda-benda ini terbawa air sungai yang berasal dari pasar di hulu.

Meski kehidupan kampung tidak mewah namun banyak kejadian yang menarik bagi Tokunaga.  Terutama jika dibandingkan dengan kehidupannya di Hiroshima dulu. Di Saga,  banyak makanan yang bisa dimakan tanpa harus membeli.  Ingin buah, tinggal petik di pohon. Ingin mainan pun tinggal membuat sendiri dari batang kayu yang bergeletakan di tanah. Semua gratis tanpa biaya.

Tokunaga sangat tertarik pada kegiatan olahraga. Suatu waktu ia ingin  mengikuti latihan Kendo. Namun setelah mengetahui  untuk bergabung dengan latihan tersebut membutuhkan uang, mendadak Nenek meminta Tokunaga membatalkannya. Di lain waktu Tokunaga ingin mengikuti latihan Judo.  Nenek meminta Tokunaga melupakannya karena latihan Judo pun tidak gratis.  Nenek malah mengusulkan Tokunaga untuk berlatih lari saja. Kata Nenek, "Tidak perlu peralatan dan tempat berlarinya juga gratis.  Lari saja." Tokunaga pun menerima saran Nenek. Ia berlatih lari sendirian setiap hari. Ternyata di kemudian hari latihan larinya ini membawa hasil memuaskan. Ia selalu menjadi pahlawan di festival olahraga. Namun yang menyedihkan hatinya, tak pernah satu kali pun ibunya datang melihatnya mengikuti lomba. Dan ada peristiwa aneh di setiap tahun di hari festival tersebut. Wali kelas Tokunaga menderita sakit perut! Dengan alasan sakit perut itulah mereka selalu meminta Tokunaga bertukar bekal.  Beberapa tahun kemudian Tokunaga baru diberitahu Nenek kalau wali-wali kelasnya sengaja berbuat demikian untuk menghibur Tokunaga. "Itulah kebaikan sejati" demikian penjelasan Nenek. Kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan (hal 92).

Lewat kisah-kisah kesederhanaan, Nenek Osano mengajarkan banyak sekali nilai dan prinsip kehidupan. Tidak hanya untuk Tokugana tetapi juga untuk kita yang menyimak ceritanya. Bahwa kehidupan baik atau buruk tidak ditentukan oleh uang yang kita miliki tetapi rasa yang kita ijinkan hadir : susah atau senang, bahagia atau sedih. Kaya, adanya di hati. Inilah nilai kaya yang sesungguhnya.

Tak perlu minder juga saat putaran roda kehidupan berada di bawah. Harga diri kita tak serta merta jatuh karena kemiskinan. Sang Pencipta pun tak menciptakan manusia dalam derajat yang berbeda-beda. Semua yang muda akan menua.  Kaya atau miskin, keduanya memiliki kebutuhan dasar yang sama seperti butuh makan dan minum. Apa pun keadaannya kita tetap masih bisa bahagia dan meraih mimpi. Asalkan mau bersyukur dan menikmati pemberianNya




0 Comments:

Posting Komentar

Haiii.. tanpa mengurangi keakraban, silahkan berkomentar dengan baik dan sopan yaa.. Komentar bersifat spam tidak akan dipublikasi