Minggu, Maret 03, 2019

Ketika Berbagi Menjadi Kebutuhan

sharing, berbagi

Selepas wisuda seleh sebagai koordinator kota seorang teman bertanya,
"Mak Far abis ini mau ngapain?"
Saya jawab "Ngerjain banyak hal Mak" 😊
"Coding Mum?" (karena ia tahu saya belum lama ini bergabung dalam Komunitas Coding Mum Indonesia)
"Ya termasuk juga itu"
Berbagi manfaat tidak berhenti hanya karena seleh (selesai) pada satu urusan. Karena berbagi untuk saya adalah suatu kebutuhan, in syaa Allah saya akan terus berusaha mencari cara agar bisa berbagi. Hal yang sama saya pikir juga berlaku bagi orang lain. Meski dengan alasan dan bentuk yang mungkin berbeda.


Sekitar sepekan ini saya bergabung dalam sebuah grup whatsapp berbagi resep masakan. Grup yang luar biasa ramai. Satu hari bisa puluhan chat! Yang menarik bagi saya adalah sekalipun kami tak saling mengenal sebelumnya (bergabung dalam grup karena kesukaan yang sama) iklim berbagi tanpa pamrih tumbuh dengan cepat. Hampir setiap hari admin grup menyapa dan memancing obrolan dengan aroma berbagi yang kental. Kadang langsung membagikan resep atau menanyakan masak apa kami hari ini (empat jempol untukmuuu Mbak Admin sayang 😘) Beberapa di antara anggota grup merupakan pedagang kuliner yang sudah pasti memiliki resep andalan. Entah resep yang diperoleh turun menurun atau resep yang diperoleh dari kursus memasak yang biasanya biayanya cukup mahal.  Namun tetap mau dengan sukarela membagikan resep andalannya tersebut lengkap dengan tips dan trik 😍. Katanya "rejeki sudah ada yang mengatur, berbagi gak mengurangi rejeki seringnya malah bertambah" Kalau sering dibagi gratisan begini masa siii gak kepengen berbagi juga? Berbagi itu menular ya 😉

Saya juga bergabung dalam sebuah grup whatsapp yang menggunakan media berbagi ilmu untuk membantu yang membutuhkan, dalam hal ini disabilitas tuna netra. Seperti kita ketahui di Indonesia setiap orang berhak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama.  Namun pada kenyataannya sarana dan prasarana untuk disabilitas masihlah minim dan belum sesuai dengan rancangan yang dibutuhkan oleh tuna netra. Mengutip artikel dari kartunet.com :
Dalam desain bangunan dan lingkungan berdasarkan rancangan unversal bagi penyandang tunanetra meliputi pencahayaan (baik secara alami maupun buatan), ukuran huruf pada petunjuk, huruf timbul pada petunjuk, braile pada petunjuk, informasi yang bisa diraba pada pegangan/handrails tangga, informasi yang bisa diraba pada pegangan/handrails koridor, informasi yang bisa diraba pada pintu, informasi yang bisa diraba pada permukaan lantai, informasi suara dan petunjuk, informasi penciuman dengan penanaman tumbuhan, area sirkulasi yang tertata, permukaan lantai dan dekorasi dinding tidak membingungkan penglihatan. Aksebilitas ruang publik kampus yang baik dapat menunjang pendidikan mahasiswa tuna netra setara dengan mahasiswa lainnya.  Belum tersedianya aksebilitas fisik ruang publik kampus bagi mahasiswa tuna netra menunjukkan bahwa pihak universitas kurang mengkaji ulang dalam penyediaan fasilitas fisik kampus yang "ramah" bagi mahasiswa tuna netra. 
Keterbatasan yang dimiliki unversitas menjadi salah satu penyebab universitas menolak mahasiswa baru tunanetra seperti dilansir oleh Ida Ayu Pradyani, Ketua Yayasan Pendidikan Dria Raba yang menyatakan ada calon mahasiswa tuna netra yang mencoba mendaftar di jurusan Sastra/Hukum salah satu universitas terkemuka di Bali langsung ditolak.
Hal-hal seperti inilah yang mendorong sang Coach membuat sebuah grup whatsapp yang saya ikuti untuk mencari dana mendirikan kampus bagi tuna netra. Untuk mengakses ilmu yang beliau bagikan, kami boleh bebas membayar sesuai kemampuan.  Berapa pun diterima.  Bagi saya, cara ini sungguh lebih mulia daripada hanya mengandalkan donatur, meminta sumbangan. Dan pada akhirnya tidak hanya Coach yang berbagi, kami para peserta pun berbagi. Indah bukan? Apa yang dilakukan Coach ini pula yang menginspirasi saya mengusulkan Sedekah Ilmu menjadi bagian dari program kegiatan Sejuta Cinta dan Dapur Emak Ibu Profesional Depok. Para Ibu di Dapur Emak bisa bersedekah dengan membagikan keterampilan memasaknya pada ibu-ibu dhuafa yang menjadi bekal ide usaha. Dengan demikian diharapkan para ibu dhuafa akan bisa mandiri finansial. Doakan bisa menjadi program berkelanjutan ya?



Berbagi itu baik dan menyenangkan, tapi kenapa ya masih banyak yang menunda? Dari obrolan dengan teman-teman, biasanya karena 4 hal berikut

  • Merasa ilmu masih cetek/kurang.  Gak sekali dua kali, teman yang memperhatikan saya sering berbagi resep di instagram mengatakan "Mak pinter masak, jadi bisa dibagiin ilmunya, aku kan gak.." Percaya atau tidak, sampai minggu-minggu awal menikah saya adalah seorang perempuan yang gagap dapur. Butuh usaha lebih untuk bisa memasak enak. Dan hampir 90% resep yang saya bagikan adalah resep masak keseharian yang bumbu masaknya sederhana dan cara memasaknya pun gak rumit. Contoh resep Mie Goreng, makanan sejuta umat. Hampir di setiap tukang nasi uduk ada mie goreng. Banyak yang sudah pernah membuatnya. Tapi tetap saya bagikan resepnya dengan asumsi mungkin saja masih ada yang membutuhkan.  Kalau pun tidak, minimal buat arsip resep pribadi.  Mie Goreng ala saya hanya menggunakan 2 macam bumbu dapur yang diiris dan tumis, bawang merah dan bawang putih. Tinggal dicampur dengan mie rebus yang sudah ditiriskan dan diberi kecap, garam serta lada. Taraaa.. selesai! Alhamdulillah resep ini sudah di recook beberapa kali dan kebanyakan memberikan respon "wah enak! ternyata bikinnya cuma begitu aja.. cocok buat anak-anak" Tuh kan .. begitu aja alias gampang. Bukan ilmu yang berat. Sejujurnya saya pun belum menjadi seorang yang mahir memasak. Tapi saya ingin ikut berbagi dari sedikit ilmu yang saya miliki. Dimulai dari yang begitu aja 😁
  • Malu dan Tidak Percaya Diri. Saya termasuk tipe pemalu. Malah kadang jadi malu-maluin..hahahhaha 😂 Tahukah, di buku "Give and Take" karangan Adam Grant ternyata contoh orang sukses yang diberikan termasuk dalam tipe pemalu.  Adam Rifkin namanya.  Seorang pencinta Star Trek, orang eksentrik yang tergila-gila pada perangkat lunak anagram, sanggup membangun sebuah jaringan yang mencakup pendiri Facebook, Netscape, Napster, Twitter, Flickr, dan Half.com.  Pada tahun 2011, Adam Rifkin memiliki lebih banyak koneksi Linkedln dengan 640 orang penting pada daftar Fortune dari siapapun di planet ini.  Ia mengalahkan orang-orang masyhur seperti Michael Dell, milliader pendiri perusahaan komputer itu, dan Jeff Weiner, CEO Linkedln. Adam Rifkin membangun jaringannya dengan bertindak sebagai seorang pemberi sejati. "Jaringan saya berkembang sedikit demi sedikit, malah berkembang sedikit setiap hari melalui isyarat kecil dan perbuatan baik selama bertahun-tahun," ujar Rifkin, "dengan hasrat untuk memperbaiki kehidupan orang-orang yang terhubung dengan saya." Dari Adam Rifkin kita belajar bahwa kunci utama ada di kemauan untuk memberi, tanpa dipengaruhi oleh tipe seseorang. Bentuk berbaginya yang disesuaikan dengan kemampuan si pemberi. Memulai dari yang sedikit tak hanya menguatkan proses tetapi juga memberi kesempatan diri untuk meningkatkan kepercayaan.
  • Berhitung untung rugi. Adakah orang yang ingin merugi? jawabannya pasti tidak. Ini mungkin yang membuat orang sering berhitung dalam memberi. Kalau saja Larry Page dan Sergey Brin, pendiri Google, juga amat berhitung untung rugi saat memulai, tentu Google tak akan secepat ini terkenal. Page dan Brin memulai Google dengan mimpi adanya membuat mesin pencari yang bisa diakses secara mudah dan gratis oleh banyak orang. Mark Zuckenberg juga menggunakan cara yang sama, menyediakan situs pertemanan Facebook secara gratis.
  • Lebih suka menerima. Semakin banyak menerima semakin kaya. Demikian pemikirang orang-orang yang menganggap pusat kebaikannya ada di "aku". Padahal pusat kebaikan sesungguhnya adalah "kita".  Dengan mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: "Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (sesamanya)" (HR At-Tabrani), Dr. M. Syafii Antonio, M,Ec dalam bukunya"Muhammad SAW The Greatest Inspirator & Motivator" menuliskan memberi manfaatlah ukuran "kebaikan" seseorang. Bukan karena dirinya yang memperoleh ini dan itu. Orang yang sering memberi menunjukkan karakteristik kekuatan sementara orang yang lebih suka menerima menunjukkan kelemahan. Maka pilihannya bagi kita adalah, mau menjadi orang yang kuat atau lemah? 😎














0 Comments:

Posting Komentar

Haiii.. tanpa mengurangi keakraban, silahkan berkomentar dengan baik dan sopan yaa.. Komentar bersifat spam tidak akan dipublikasi