Seorang ummahat membagikan tulisan dari Ali Bin Abi Thalib di atas..
Sukses membuat saya tertegun dan merasa diingatkan akan kejadian akhir-akhir ini yang terkait dengan kata "Salah".
Reaksi atas kesalahan yang dilakukan oleh seseorang, yang akhirnya berimbas juga pada reaksi diri saya sendiri dalam menyikapinya yang terasa menguras energi.
Hai, ada apa dengan diri saya?
Bukankah saya tahu selalu ada pilihan?
Sekarang saatnya mencerna lagi..
Seseorang wajar gak sih berbuat salah? Atau salah itu hal yang tabu? Apa yang mendorong kita memiliki persepsi khusus tentang kata salah?
Hmm.. barangkali jawaban paling mudah diberikan adalah (menuding) pola asuh yang kita terima sejak kecil.
Berkaca dari pola asuh yang umum terjadi, gak semua orang tua mau menerima kesalahan. Contoh gampangnya ucapan yang sering terdengar adalah "Kerjain yang bener, awas ya jangan sampai salah".
Dan jika si anak berbuat salah, reaksi orangtua beraneka rupa. Mulai dari yang cuek sampai tangan yang terangkat siap menghukum.
Begitu terus bertahun-tahun sehingga yang kita pahami adalah gak boleh salah.
Lalu pertanyaan berikutnya, kalau gak boleh salah darimana kita akan belajar sesuatu yang benar selain yang memang sudah tahu itu benar?
Qiqiqiqi kalimatnya mbulet ya..
Misalnya gini.. kita diberitahu bahwa kalau mau ke tempat A, saat bertemu di persimpangan jalan yang paling mudah mengambil rute jalan yang lurus saja meski terlihat seperti agak jauh. Memang benar demikian setelah dicoba. Namun di lain waktu karena penasaran kita memilih rute belok kanan. Dengan anggapan, akan sampai lokasi yang sama juga pada akhinya nanti. Siapa tahu malah bisa lebih cepat. Tetapi ternyata petunjuk awal yang benar karena saat belok kanan kita harus menyeberangi sungai yang membuat perjalanan terhambat.
Nah jadi tahu kaan..
Iseng, saya pun mencari di internet artikel yang membahas reaksi otak saat kita melakukan kesalahan dan menemukan artikel menarik "Mistake Grow Your Brain" yang menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Jason Moser tahun 2011, saat kita melakukan kesalahan, otak kita secara istimewa memberikan 2 respon.
Pertama, respon RPN dimana terjadi peningkatan aktivitas listrik saat otak mengalami konflik antara respon yang benar dan kesalahan terlepas dari orang yang membuat respon tahu bahwa mereka membuat kesalahan atau tidak.
Kedua, saat orang membuat respon sadar bahwa kesalahan telah dibuat dan memberikan perhatian secara sadar pada kesalahan tersebut. Respon ini disebut Pe.
Hwaaa maa syaa Allah...
Sudah diinstal demikian oleh Sang Pencipta
Berarti reaksi pertama ketika kita melakukan kesalahan dan disadari sebagai kesalahan seharusnya adalah menerima hal tersebut salah
Demikian juga semestinya dengan reaksi orang yang ada di sekitarnya, menerima hal itu sebagai kesalahan
Get one point!
Otak kita menerima tantangan, merespon terhadap sebuah kesalahan, dan tumbuh.
Respon berikutnya pilihan tindakan, memperbaiki atau berdebat?
Dalam keduanya, jika ada proses yang salah, sekali lagi otak akan merespon serta kembali tumbuh.
Ali bin Abi Thalib ra menyatakan orang bijak akan memperbaiki diri.
Benar banget, karena dari kesalahan yang diinginkan hasil akhirnya adalah mendapatkan kebenaran.
Perbaikan bisa jadi membutuhkan proses yang panjang.
Di sinilah, menurut saya kerentanan energi terkuras itu besar apalagi ketika proses perbaikan tidak hanya menyangkut diri sendiri tetapi juga orang lain serta tidak sepakat mengarah pada solusi karena dalam perbaikan yang dilakukan bisa terjadi perdebatan.
Debat sendiri, tidak selalu buruk.
Adakalanya debat dibutuhkan untuk menyampaikan dan mempertahankan suatu hal/ilmu yang kita yakini kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam Islam pada dasarnya debat diperbolehkan asal dengan cara yang baik dan benar seperti dalam ayat berikut
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
"Berbicaralah kamu (Musa) berdua kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut" Qs Thahaa (22) : 44
Debat menjadi buruk manakala dilakukan dengan cara yang tak baik seperti misalnya menjatuhkan lawan dan tidak berdasarkan ilmu melainkan emosi semata, merasa yang paling benar.
Kalau sudah begini banyak waktu tersita, menjadi episode panjang melebihi sinetron manapun, karena debat tidak pernah mencapai titik temu.
Clear, saya memang harus menetapkan pilihan kalau tidak mau larut dalam capek dan waktu terbuang percuma pada debat tak berujung..
Pengen menjadi orang pintar dan bijak sajalah..😁
Biar tetap bahagia 😘
0 Comments:
Posting Komentar
Haiii.. tanpa mengurangi keakraban, silahkan berkomentar dengan baik dan sopan yaa.. Komentar bersifat spam tidak akan dipublikasi